Selasa, 07 Desember 2010

Hikmah Pengharaman Babi

Hal ini penting untuk diketahui, terutama oleh pemuda-pemuda kita yang sering pergi ke negara-negara Eropa dan Amerika, yang menjadikan daging babi sebagai makanan pokok dalam hidangan mereka.

Dalam kesempatan ini, saya sitir kembali kejadian yang berlangsung ketika Imam Muhammad Abduh mengunjungi Perancis. Mereka bertanya kepadanya mengenai rahasia diharamkannya babi dalam Islam. Mereka bertanya kepada Imam, "Kalian (umat Islam) mengatakan bahwa babi haram, karena ia memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba-mikroba dan bakteri-bakteri lainnya. Hal itu sekarang ini sudah tidak ada. Karena babi diternak dalam peternakan modern, dengan kebersihan terjamin, dan proses sterilisasi yang mencukupi. Bagaimana mungkin babi-babi itu terjangkit cacing pita atau bakteri dan mikroba lainnya.?"

Imam Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan dengan kecerdikannya beliau meminta mereka untuk menghadirkan dua ekor ayam jantan beserta satu ayam betina, dan dua ekor babi jantan beserta satu babi betina.

Mengetahui hal itu, mereka bertanya, "Untuk apa semua ini?" Beliau menjawab, "Penuhi apa yang saya pinta, maka akan saya perlihatkan suatu rahasia."

Mereka memenuhi apa yang beliau pinta. Kemudian beliau memerintahkan agar melepas dua ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam betina dalam satu kandang. Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling membunuh, untuk mendapatkan ayam betina bagi dirinya sendiri, hingga salah satu dari keduanya hampir tewas. Beliau lalu memerintahkan agar mengurung kedua ayam tersebut.

Kemudian beliau memerintahkan mereka untuk melepas dua ekor babi jantan bersama dengan satu babi betina. Kali ini mereka menyaksikan keanehan. Babi jantan yang satu membantu temannya sesama jantan untuk melaksanakan hajat seksualnya, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri atau keinginan untuk menjaga babi betina dari temannya.

Selanjutnya beliau berkata, "Saudara-saudara, daging babi membunuh 'ghirah' orang yang memakannya. Itulah yang terjadi pada kalian. Seorang lelaki dari kalian melihat isterinya bersama lelaki lain, dan membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan seorang bapak di antara kalian melihat anak perempuannya bersama lelaki asing, dan kalian membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan was-was, karena daging babi itu menularkan sifat-sifatnya pada orang yang memakannya."

Kemudian beliau memberikan contoh yang baik sekali dalam syariat Islam. Yaitu Islam mengharamkan beberapa jenis ternak dan unggas yang berkeliaran di sekitar kita, yang memakan kotorannya sendiri. Syariah memerintahkan bagi orang yang ingin menyembelih ayam, bebek atau angsa yang memakan kotorannya sendiri agar mengurungnya selama tiga hari, memberinya makan dan memperhatikan apa yang dikonsumsi oleh hewan itu. Hingga perutnya bersih dari kotoran-kotoran yang mengandung bakteri dan mikroba. Karena penyakit ini akan berpindah kepada manusia, tanpa diketahui dan dirasakan oleh orang yang memakannya. Itulah hukum Allah, seperti itulah hikmah Allah.

Ilmu pengetahuan modern telah mengungkapkan banyak penyakit yang disebabkan mengkonsumsi daging babi. Sebagian darinya disebutkan oleh Dr. Murad Hoffman, seorang Muslim Jerman, dalam bukunya "Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman", halaman 130-131: "Memakan daging babi yang terjangkiti cacing babi tidak hanya berbahaya, tetapi juga dapat menyebabkan meningkatnya kandungan kolestrol dan memperlambat proses penguraian protein dalam tubuh, yang mengakibatkan kemungkinan terserang kanker usus, iritasi kulit, eksim, dan rematik. Bukankah sudah kita ketahui, virus-virus influenza yang berbahaya hidup dan berkembang pada musim panas karena medium babi?"

Dr. Muhammad Abdul Khair, dalam bukunya Ijtihâdât fi at Tafsîr al Qur'an al Karîm, halaman 112, menyebutkan beberapa penyakit yang disebabkan oleh daging babi: "Daging babi mengandung benih-benih cacing pita dan cacing trachenea lolipia. Cacing-cacing ini akan berpindah kepada manusia yang mengkonsumsi daging babi tersebut. Patut dicatat, hingga saat ini, generasi babi belum terbebaskan dari cacing-cacing ini. Penyakit lain yang ditularkan oleh daging babi banyak sekali, di antaranya:

1. Kolera babi. Yaitu penyakit berbahaya yang disebabkan oleh virus
2. Keguguran nanah, yang disebabkan oleh bakteri prosillia babi.
3. Kulit kemerahan, yang ganas dan menahun. Yang pertama bisa menyebabkan kematian dalam beberapa kasus, dan yang kedua menyebabkan gangguan persendian.
4. Penyakit pengelupasan kulit.
5. Benalu eskares, yang berbahaya bagi manusia.

Fakta-fakta berikut cukup membuat seseorang untuk segera menjauhi babi:

1. Babi adalah hewan yang kerakusannya dalam makan tidak tertandingi hewan lain. Ia makan semua makanan di depannya. Jika perutnya telah penuh atau makanannya telah habis, ia akan memuntahkan isi perutnya dan memakannya lagi, untuk memuaskan kerakusannya. Ia tidak akan berhenti makan, bahkan memakan muntahannya.
2. Ia memakan semua yang bisa dimakan di hadapannya. Memakan kotoran apa pun di depannya, entah kotoran manusia, hewan atau tumbuhan, bahkan memakan kotorannya sendiri, hingga tidak ada lagi yang bisa dimakan di hadapannya.
3. Ia mengencingi kotoranya dan memakannya jika berada di hadapannya, kemudian memakannya kembali.
4. Ia memakan sampah, busuk-busukan, dan kotoran hewan.
5. Ia adalah hewan mamalia satu-satunya yang memakan tanah, memakannya dalam jumlah besar dan dalam waktu lama, jika dibiarkan.
6. Kulit orang yang memakan babi akan mengeluarkan bau yang tidak sedap.
7. Penelitian ilmiah modern di dua negara Timur dan Barat, yaitu Cina dan Swedia --Cina mayoritas penduduknya penyembah berhala, sedangkan Swedia mayoritas penduduknya sekular-- menyatakan: daging babi merupakan merupakan penyebab utama kanker anus dan kolon. Persentase penderita penyakit ini di negara-negara yang penduduknya memakan babi, meningkat secara drastis. Terutama di negara-negara Eropa, dan Amerika, serta di negara-negara Asia (seperti Cina dan India). Sementara di negara-negara Islam, persentasenya amat rendah, sekitar 1/1000. Hasil penelitian ini dipublikasikan pada 1986, dalam Konferensi Tahunan Sedunia tentang Penyakit Alat Pencernaan, yang diadakan di Sao Paulo.

Kini kita tahu betapa besar hikmah Allah mengharamkan daging dan lemak babi. Untuk diketahui bersama, pengharaman tersebut tidak hanya daging babi saja, namun juga semua makanan yang diproses dengan lemak babi, seperti beberapa jenis permen dan coklat, juga beberapa jenis roti yang bagian atasnya disiram dengan lemak babi. Kesimpulannya, semua hal yang menggunakan lemak hewan hendaknya diperhatikan sebelum disantap. Kita tidak memakannya kecuali setelah yakin bahwa makanan itu tidak mengandung lemak atau minyak babi, sehingga kita tidak terjatuh ke dalam kemaksiatan terhadap Allah SWT, dan tidak terkena bahaya-bahaya yang melatarbelakangi Allah SWT mengharamkan daging dan lemak babi.

FIQH AL-KHULAFA' AL-RASYIDIN: FIQH PENGUASA

Seorang laki-laki datang menemui 'Umar bin Khathab: "Saya
dalam keadaan junub dan tidak ada air." Maksud kedatangannya
untuk menanyakan apakah ia harus shalat atau tidak.

'Umar menjawab, "Jangan shalat sampai engkau mendapatkan air."
'Ammar bin Yasir berkata pada 'Umar bin Khathab: "Tidakkah
Anda ingat. Dulu --engkau dan aku-- pernah berada dalam
perjalanan. Kita dalam keadaan junub. Engkau tidak shalat,
sedangkan aku berguling-guling di atas tanah. Aku sampaikan
kejadian ini kepada Rasulullah saw. Dan Nabi berkata, cukuplah
bagi kamu berbuat demikian."

Mendengar demikian Umar menegur 'Ammar: "Ya Ammar, takutlah
pada Allah", Kata Ammar, "Ya Amir al-Mu'minin, jika engkau
inginkan, aku tidak akan menceritakan hadits ini selama engkau
hidup." [1]

"Yang dimaksud Ammar," kata Ibn Hajar, [2] "Aku melihat memang
lebih baik tidak meriwayatkan hadits ini ketimbang
meriwayatkannya Aku setuju denganmu, dan menahan diriku. Toh,
aku sudah menyampaikannya, sehingga aku tidak bersalah."

Sejak itu, 'Ammar tidak meriwayatkan peristiwa itu lagi. 'Umar
tetap berpegang teguh pada pendapatnya -- orang junub, bila
tidak ada air, tidak perlu shalat. "Wa hadza madzab masyhur
'an 'Umar," kata Ibn Hajar. Semua sahabat menolak pendapat
Umar, kecuali Abdullah bin Mas'ud. Al-Bukhari mencatat
perdebatan Abdullah bin Mas'ud dengan Abu Musa al-Asy'ari
tentang kasus ini pada hadits No. 247. Abu Musa menentang
pendapat Abdullah --sekaligus madzhab Umar-- dengan mengutip
ayat ("jika kalian tak mendapatkan air hendaklah tayamum
dengan tanah yang baik"). Menarik untuk dicatat bahwa kelak
dengan merujuk ayat yang sama, mazhab Hanafi melanjutkan
mazhab 'Umar.

Lebih menarik lagi untuk kita catat adalah beberapa pelajaran
dari riwayat di atas. Pertama, memang terjadi perbedaan paham
di antara sahabat dalam masalah fiqhiyah Kedua, lewat
kekuasaan, 'Umar menghendaki pembakuan paham dan mengeliminasi
pendapat yang berlainan. Ketiga, terlihat ada sikap
hiperkritis dalam menerima atau menyampaikan riwayat Dan
keempat, perbedaan di antara para sahabat berpengaruh besar
pada ikhtilaf kaum Muslim pada abad-abad berikutnya

Karena itu membicarakan fiqh para sahabat menjadi sangat
penting sebagai pijakan bagi pembahasan masalah fiqh mutakhir.
Saya akan memulai makalah ini dengan membahas urgensi fiqh
sahabat dalam keseluruhan pemikiran fiqhiyah. Setelah itu,
saya akan menjelaskan sebab-musabab timbulnya ikhtilaf fiqh di
antara para sahabat, karakteristik fiqh sahabat, dan
contoh-contoh fiqh al-khulafa al-rasyidin.

URGENSI FIQH SAHABAT

Fiqh shahabi memperoleh kedudukan yang sangat penting dalam
khazanah pemikiran Islam. Pertama, sahabat --sebagaimana
didefinisikan ahli hadits-- adalah orang yang berjumpa dengan
Rasulullah saw dan meninggal dunia sebagai orang Islam. [3]
Dari makalah kita mengenal sunnah Rasulullah, karena itu, dari
mereka juga kita mewarisi ikhtilaf di kalangan kaum Muslim.

Kedua, zaman sahabat adalah zaman segera setelah berakhirnya
masa tasyri'. Inilah embrio ilmu fiqh yang pertama. Bila pada
zaman tasyri' orang memverifikasi pemahaman agamanya atau
mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada Rasulullah,
pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri sendiri. Sementara
itu, perluasan kekuasaan Islam dan interaksi antara Islam
dengan peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah
baru. Dan para sahabat merespon situasi ini dengan
mengembangkan fiqh (pemahaman) mereka. Ketika menceritakan
ijtihad pada zaman sahabat, Abu Zahrah menulis: [4]

Di antara sahabat ada yang berijtihad dalam batas-batas
al-Kitab dan al-Sunnah, dan tidak melewatinya; ada pula
yang berijtihad dengan ra'yu bila tidak ada nash, dan
bentuk ra'yu-nya bermacam-macam; ada yang berijtihad
dengan qiyas seperti Abdullah bin Mas'ud; dan ada yang
berijtihad dengan metode mashlahat, bila tidak ada nash.

Dengan demikian, zaman sahabat juga melahirkan prinsip-prinsip
umum dalam mengambil keputusan hukum (istinbath; al-hukm.);
yang nanti diformulasikan dalam kaidah-kaidah ushul fiqh.

Ketiga, ijtihad para sahabat menjadi rujukan yang harus
diamalkan, perilaku mereka menjadi sunnah yang diikuti.
Al-Syathibi [5] menulis, "Sunnah sahabat r.a. adalah sunnah
yang harus diamalkan dan dijadikan rujukan." Dalam
perkembangan ilmu fiqh, madzhab sahabat --sebagai ucapan dan
perilaku yang keluar dari para sahabat-- akhirnya menjadi
salah satu sumber hukum Islam di samping istihsan, qiyas,
mashalih mursalah dan sebagainya. Madzhab sahabat pun menjadi
hujjah. Tentang hal ini, ulama berbeda pendapat. Sebagian
menganggaprlya sebagai hujjah mutlak; sebagian lagi sebagai
hujjah bila bertentangan dengan qiyas; sebagian lainnya hanya
menganggap hujjah pada pendapat Abu Bakar dan Umar saja,
berdasarkan hadits ("berpeganglah pada dua orang sesudahku,
yakni Abu Bakar dan Umar"); dan sebagian yang lain,
berpendapat bahwa yang menjadi hujjah hanyalah kesepakatan
khulafa' al-Rasyidin. [6]

Terakhir keempat, ini yang terpenting, ahl al-Sunnah sepakat
menetapkan bahwa seluruh sallabat adalah baik (al-shahabiy
kulluhum 'udul). Mereka tak boleh dikritik, dipersalahkan,
atau dinilai sebagaimana perawi hadits lain. Imam ahli jarh
dan ta'dil, Abu Hatim al-Razi dalam pengantar kitabnya
menulis: [7]

Adapun sahabat Rasulullah saw, mereka adalah orang-orang
yang menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui tafsir dar
ta'wil, yang dipilih Allah untuk- menemani Nabi-Nya, untuk
menolongnya, menegakkan agamanya, memenangkan ke
benarannya... Allah memuliakan mereka dengan karunia-Nya
menempatkan kedudukan mereka pada tempat ikutan. Mereka
dibersikkan dari keraguan, dusta, kekeliruan, keraguan
kesombongan, dan celaan. Allah menamai mereka sebagai
'udul al-ummah (umat yang paling bersih)... Merekalah
'udul al-ummah, pemimpin-pemimpin hidayah, hujjah agama,
dan pembawa al-Qur'an dan al-'Sunnah.

Karena posisi sahabat begitu istimewa, maka tidak mengherankan
bila mazhab sahabat menjadi rujukan penting bagi perkembangan
fiqh Islam sepanjang sejarah. Tentu saja, menurut kesepakatan
ahl al-sunnah, di antara para sahabat itu yang paling penting
adalah khulafa al-rasyidun. Bila mereka sepakat, pendapat
mereka dapat membantu memecahkan masalah fiqh; bila mereka
ikhtilaf, mazhab sahabat menimbulkan kemusykilan yang sulit
diatasi. Lalu mengapa mereka ikhtilaf?

PENYEBAB IKHTILAF DI KALANGAN SAHABAT

Salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat adalah
prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak
terjadi pada zaman Rasulullah saw. Sementara itu, setelah
Rasulullah wafat, putuslah masa tasyi'. Menghadapi
masalah-masalah baru itu, muncul dua pandangan. [8]

Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan
hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur'an setelah
Rasulullah wafat dipegang ahl al-Bait. Hanya merekalah,
menurut nash dari Rasul, yang harus dirujuk untuk
menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum
Allah. Kelompok ini tidak mengalami kesulitan dalam masa
berhentinya wahyu, karena mereka tahu betul --tugas mereka
adalah mengacu pada Ma'shumun.

Kelompok kedua memandang tidak ada orang tertentu yang
ditunjuk rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah
Ilahi. Al-Qur'an dan al-Sunnah adalah sumber untuk menarik
hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di
masyarakat. Kelompok ini --kelak disebut Ahl al-Sunnah--
ternyata tidak mudah mengambil hukum dari nash, karena banyak
hal tak terjawab oleh nash. Mereka akhirnya menggunakan
metode-metode ijtidah seperti qiyas atau istihsan.

Semua Khalifah al-Rasyidin termasuk kelompok kedua, kecuali
Ali bin Abi Thalib. Kelompok kedua lebih banyak menggunakan
ra'yu, dan kelompok pertama lebih banyak merujuk nash.
Kelompok kedua banyak menggunakan dalil aqly, kelompok pertama
dalil naqli. Umar pernah melarang hajji tamattu', padahal
al-Qur'an dan al-Sunnah sangat tegas menetapkannya. Ketika
Utsman juga melarangnya, Ali secara demonstratif melakukannya
di depan Utsman. Kata Utsman: Aku melarang manusia melakukan
tamattu, dan engkau sendiri melakukannya. Ali menjawab: Aku
tak akan meninggalkan sunnah Rasulullah saw. hanya karena
pendapat seseorang. [9] Setelah perdebatan ini, menurut
riwayat lain dari Abdullah bin Zubair, Utsman berkata:
Sesungguhnya laranganku itu hanya ra'yuku saja. Siapa yang mau
boleh menjalankannya; siapa yang tak mau boleh
meninggalkannya. [10]

Contoh lainnya adalah hukuman dera bagi peminum khamr.
Rasulullah saw. menderanya 40 kali. [11] Umar --atas saran Abd
al-Rahman bin Auf menderanya 80 kali. Ali kembali menderanya
40 kali. Rasulullah saw. menetapkan thalaq tiga dalam satu
majlis itu dihitung satu. [12] Begitu pula Ali. Umar
menetapkan thalaq tiga itu jatuh tiga sekaligus. Umar
memutuskan hukuman rajam bagi orang gila yang berzina. Ali
membebaskan hukum itu berdasarkan hadits. [13]

Bila contoh-contoh tadi berkenaan dengan perbedaan antara
ketetapan nash dengan ra'yu, contoh-contoh berikut menunjukkan
perbedaan memahami nash. Kata quru dalam wal muthalaqatu
yatarabbashna bi anfusihim tsalatsatu quru' diartikan
berbeda-beda. Abdullah bin Mas'ud dan Umar mengartikan "quru"
itu haidh. Zaid ibn Tsabit mengartikannya masa bersuci di
antara haidh dengan haidh lagi. [14] Ibn Umar menafsirkan
"al-muhshanat dalam ayat wa al muhshanat min alladzina utu
al-kitab sebagai wanita Muslim, karena itu Ibn Umar
mengharamkan wanita ahli kitab dinikahi laki-laki Muslim. Ibn
'Abbas menganggap ayat itu sebagai pengecualian (takhshish)
dari ayat wa la tankihu al-musyrikat hatta yu'minna. Utsman
tampaknya sependapat dengan Ibn 'Abbas, karena ia menikah
dengan Nailah, wanita Nashrani, dan Thalhah menikahi wanita
Yahudi dari Syam. [15]

Kadang-kadang ikhtilaf terjadi di antara para sahabat karena
perbedaan pengetahuan yang mereka miiiki. Sebagian sahabat,
misalnya, mengetahui nash tertentu, sebagian lain tidak
mengetahuinya. Umar pernah menegur orang yang dikiranya salah
ketika membaca QS al-Fath: 26. Ia memarahi orang itu. Tetapi
Umar kemudian dikoreksi Ubayy bin Ka'ab. Kata Ubayy Anda tahu
saya berada di dalam beserta Rasulullah saw. ketika ia membaca
ayat itu. Engkau sendiri berada di pintu... Demi Allah Ya
Umar, sesungguhnya Anda tahu, ketika saya hadir Anda tidak
ada; ketika saya diundang, Anda tidak. [16]

Al-Syaikh Muhammad Muhammad al-Madany menjelaskan salah satu
sebab ikhtilaf yang berkenaan dengan sunnah: [17]

Sahabat Rasulullah saw., yang mengambil sunnah dari
Nabi dan meriwayatkannya, berbeda-beda dalam kemampuan
pengambilannya dan dalam menerima riwayatnya.
Rasulullah saw. ditanya tentang suatu masalah. Ia
menghukum dengan hukum tertentu memerintahkan atau
melarang sesuatu, melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Yang hadir waktu itu dapat menyimpan peristiwa
itu, yang tidak hadir tentu tidak mengetahuinya. Ketika
Rasulullah saw. wafat, bertebaranlah sahabat di
negeri-negeri, dan setiap penduduk negeri mengambil
dari sahabat yang ada di negeri mereka. Berkata Ibn
Hazm: "Orang Madinah hadir pada tempat yang tidak
dihadiri orang Basrah, orang Basrah menghadiri tempat
yang tidak dihadiri orang Syam; orang Syam hadir di
tempat yang tidak dihadiri orang Basrah; orang Basrah
menghadiri yang tidak dihadiri orang Kufah; orang Kufah
hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Madinah. Ini
semua terjadi dalam hadits, dan pada saat kita
memerlukan informasi. Padahal --seperti telah kita
jelaskan--sebagian sahabat pada sebagian waktu tidak
hadir di majelis Rasulullah saw., sedangkan sebagian
lagi hadir. Setiap orang hanya mcngetahui apa yang ia
saksikan, dan tidak mengetahui apa yang tidak ia
hadiri. Ini jelas menurut akal. 'Amar dan yang lain
mengetahui tentang tayamum, Umar dan Ibn Mas'ud tidak
mengetahuinya, sehingga mereka berkata: Orang junub
tidak tayamum, walau pun tidak menemukan air selama dua
bulan. Ali Hudzaifah al-Yamani dan lain-lain mengetahui
hukum mengusap tetapi 'Aisyah, Ibn 'Umar, Abu Hurairah
tidak mengetahuinya walaupun mereka penduduk Madinah.
Anak perempuan dari anak beserta anak perempuan
mendapat waris diketahui Ibn Mas'ud tetapi tidak
diketahui Abu Musa.

Marilah kita berikan satu contoh lagi yang lebih ilustratif.
Ketika orang sedang berkumpul di hadapan Umar bin Khathab,
masuklah seorang laki-laki: "Ya Amir al-Mu'minin, ini Zaid bin
Tsabit berfatwa di masjid dengan ra'yunya berkenaan dengan
mandi janabah." Kata Umar: "Panggil dia!" Zaid pun datang dan
Umar berkata: "Hai musuh dirinya sendiri!, aku dengar kau
berfatwa pada manusia dengan ra'yumu sendiri? Kata Zaid: "Ya
Amir al-Mu'minin. Aku tidak melakukan itu. Tetapi aku
mendengar hadits dari paman-pamanku, lalu aku sampaikan -- dan
Abi Ayyub dari Ubbay bin Ka'ab," dari Rifa'ah bin Rafi'. Kata
Umar: "Panggil Rafa'ah bin Rafi'. Ia berkata: "Apakah kalian
berbuat demikian - bila kalian bercampur dengan isteri kalian
dan tidak keluar air mani kalian mandi?" Kata Rafa'ah: "Kami
melakukan begitu pada zaman Rasulullah saw. Tidak turun ayat
yang mengharamkan. Tidak juga ada larangan dari Rasulullah
saw." Kata Umar: "Apakah Rasulullah saw. mengetahuinya?" Kata
Rafa'ah: "Tidak tahu." Lalu Umar mengumpulkan Muhajirin dan
Anshar, lalu bermusyawarah. Semua orang berkata tidak perlu
mandi, kecuali Ali dan Mu'adz. Keduanya berkata: "Jika kedua
khitan bertemu, wajib mandi." Kata Umar: "Kalian
sahabat-sahabat yang ikut Badr sudah ikhtilaf, apalagi
orang-orang setelah kalian!" Kata Ali, Ya Amir al-Mu'minin:
"tidak ada orang yang lebih tahu dalam hal ini kecuali isteri
Rasulullah saw. Ia mengutus orang bertanya pada Hafshah.
Hafshah tidak tahu. 'Aisyah ditanya. Kata 'Aisyah: "Bila
khitan sudah bertemu khitan, wajib mandi." Kata Umar: "Bila
ada lagi orang berfatwa bahwa tidak wajib mandi kalau tidak
keluar, aku akan pukul dia." [18]

Dalam kasus yang baru kita ceritakan, ikhtilaf di antara para
sahabat dapat diselesaikan oleh khalifah. Khalifah bahkan
menetapkan sangsi bagi orang yang mempunyai pendapat berbeda.
Dalam kasus-kasus yang lain, ikhtilaf di antara para sahabat
itu dibiarkan dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Buat
orang-orang sektarian, ikhtilaf para sahabat ini menjadi
sumber perpecahan. Buat orang yang berjiwa terbuka, ikhtilaf
ini adalah assets bagi perkembangan pemikiran. 'Umar bin Abd
al-'Aziz, tokoh ukhuwah Islamiyah yang menghentikan kutukan
pada Ali di mimbar, berkata: "Aku tidak senang kalau sahabat
Nabi tidak ikhtilaf. Seandainya pendapat mereka itu tunggal,
sempitlah manusia dibuatnya. Mereka adalah teladan yang
diikuti. Jika kita mengambil dari siapa saja di antara mereka,
jadilah itu sunnah. Artinya, mereka membuka pintu ijtihad bagi
manusia. Mereka boleh ikhtilaf, karena bila mereka tidak
membukanya, para mujtahid berada dalam kesempitan. Allah
memberikan keluasan pada umat dengan adanya ikhtilaf furu'i di
antara mereka. Dengan begitu, ia membuka umat untuk memasuki
Rahmat-Nya." [19]

shalat sebagai sarana memerangi syetan

Shalat adalah sebuah amal saleh, dengan mengamalkannya manusia menjadi jauh dari kelemahan syaitani. Dan karena itulah ia diberi nama doa. Syaitan menghendaki agar manusia lemah atau malas dalam menunaikan shalat. Karena syaitan tahu bahwa melalui ibadah shalat inilah manusia akan banyak memperoleh kemajuan. Dan melalui ibadah shalat inilah merupakan syarat bagi manusia untuk menjadi suci bersih. Selama manusia masih bergelimang dengan benda-benda kotor didalam dirinya selama itu pulalah syaitan akan terus mencintainya.
Teruslah secara berkesinambungan dalam usaha untuk menanamkan kecintaan terhadap Tuhan didalam hati sanubari. Dan untuk itu tidak ada amalan lain yang lebih baik dari pada ibadah shalat. Sebab ibadah puasa dilakukan setahun sekali dan zakat hanya orang yang memenuhi syarat nisab yang boleh membayarnya. Sedangkan ibadah shalat setiap tingkatan manusia diharuskan menunaikannya lima kali sehari semalam. Oleh sebab itu janganlah sekali-kali mensia-siakan ibadah shalat itu. Tunaikanlah berulang kali dengan pemahaman bahwa aku sedang berdiri dihadapan Zat Yang Maha Gagah Perkasa, jika Dia menghendaki maka sekarang juga Dia akan mengabulkan permohonan do’a kita pada sa’at ini juga. Tuhan tidak seperti hakim duniawi yang memerlukan sebuah khazanah atau harta banyak dalam menjalankan tugasnya. Kadanga-kadang ia takut kalau-kalau khazanah menjadi kosong habis isinya. Dan ia takut dari kemiskinan. Sedangkan khazanah Allah swt selalunya tetap penuh isinya setiap waktu.

Apabila seorang mukmin berdiri dihadapan Tuhan, ia hanya memerlukan keyakinan yang kuat untuk memenuhi hajatnya bahwa ia yakin dengan sesungguhnya bahwa dia sedang berdiri dihadapan Tuhan Yang Sami’, Alim dan Khabiir serta Qadir, jika Dia menghendaki tentu Dia akan memberi segala sesuatu yang dia mohon dari pada-Nya pada waktu itu juga. Hendaknya ia berdo’a sambil merendahkan diri, jangan merasa putus asa dan jangan punya prasangka buruk bahwa Dia tidak akan mengabulkan do’anya. Jika ia tidak berlaku demikian dan merasa yakin kepada pertolongan-Nya maka ia akan segera menyaksikan keadaan yang menyenangkan dan karunia-Nya juga akan turun kepadanya. Dan dengan sendirinya ia akan mendapatkan Allah swt juga.

Itulah cara-cara yang harus dilakukan. Akan tetapi do’a orang-orang zalim dan fasiq tidak akan pernah dikabulkan, sebab mereka itu sentiasa mengabaikan hukum-hukum Allah swt. Dan Allah swt juga mengabaikan mereka. Jika seorang anak tidak menghiraukan orang-tuanya sendiri dan tidak takut kepada mereka tentu orang-tua juga tidak akan sungguh-sungguh menghiraukan-nya. Jika demikian maka mengapa Tuhan harus menghiraukan-nya?

Jadi senjata yang diperlukan untuk memerangi syaitan adalah shalat. Dan syaitan selalu siap untuk merampas pikiran orang mukmin supaya jangan melaksanakan shalat itu. Maka seperti halnya seorang tentera yang baik tidak pernah membiarkan apa yang terkandung didalam pikirannya akan terlintas didalam pikiran musuh. Seorang mukmin sejati juga tidak akan lengah dari macam pikiran seperti itu. Sudah menjadi fitrat insani, bahwa pikiran sering tertuju kearah perkara yang buruk secara berulang-ulang. Oleh sebab itu untuk menjaganya juga memerlukan satu amal atau usaha secara dawam. Dan cara untuk pengawalannya secara tetap, untuk meneruskan usaha secara berkesinambungan telah diberitahu oleh Allah swt, yaitu jagalah shalat baik-baik. Sebagaimana firman-Nya :

Peliharalah semua shalat dan khususnya shalat tengah-tengah, dan berdirilah dihadapan Allah dengan patuh! (QS.Al- Baqarah : 239).

Manusia Mempunyai Kembar Jin & Sehari Di MAHSYAR Menyamai 50 Ribu Tahun Di Dunia

Berikut adalah penerangan oleh Dr Haron Din mengenai makhluk halus menurut Al-Quran & Sunnah yang ada menyentuh mengenai kewujudan qarin dan yang berkaitan dengannya.
Qarin ialah perkataan Arab yang bermakna teman atau rakan. Istilah qarin di sini bermaksud roh-roh jahat dari kalangan makhluk-makhluk halus yang mengiringi kelahiran seseorang bayi.

Kewujudan qarin ini ialah untuk menggoda manusia, menampakkan hal-hal yang buruk, dan yang jahat-jahat seolah-olah baik pada pandangan mata manusia. Qarin sentiasa berusaha untuk menjerumuskan manusia dengan mengajak mereka melakukan kemungkaran dengan cara menggoda, merayu, memujuk dan menipu. Semua manusia mempunyal qarin sama ada ia nabi atau orang yang alim.

Dalam surah al-An'am ayat 112 Allah s.w.t. berfirman:

Dan demikianlah kami jadikan bagi setiap nabi itu musuh dari jenis manusia dan jin, sebahagian daripada mereka membisikkan kepada yang lain perkataan yang indah-indah untuk menipu.

Rasulullah s.a.w. pernah bersabda yang berbunyi:
Tidaklah salah seorang daripada kamu (yang lahir ke dunia) melainkan dia telah dipertemankan dengan scorang kawannya daripada jin dan seorang kawannya daripada kalangan malaikat. Sahabat bertanya: Adakah engkau juga wahai Rasulullah? Baginda menjawab: Dan saya pun. Akan tetapi Allah menolong saya daripada gangguannya, maka tidaklah ia mendorong saya, kecuali kepada kebaikan.


Di bawah ini diperturunkan lagi dua buah hadis untuk menguatkan keterangan tentang ada qarin yang menemani setiap manusia.

Telah berkata Ummul Mukminin As-Sayyidah Aishah binti As-Siddiq:

Bahawasanya Rasulullah s. a. w telah keluar dari sisinya pada satu malam, tiba-tiba berlakulah satu tiupan (syaitan) terhadapnya. Maka Rasulullah pun datang melihat perkara yang sedang saya lakukan. Baginda bertanya: Apakah yang terjadi Aishah? Maka saya menjawab: Apa halnya saya, tidak diberi daya sebagaimana yang dikurniakan kepada engkau? Jawab Rasulullah s.a. w.: Adakah syaitanmu telah datang. Maka saya menjawab: Wahai Rasulullah. Adakah syaitan bersamaku? Jawab baginda: Ya. Saya bertanya lagi: Adakah terjadi pada tiap manusia. Jawab baginda: Ya. Maka saya pun bertanya: Adakah juga berlaku atasmu wahai Rasulullah. Jawab Rasulullah: Ya tetapi Tuhanku memelihara akan daku hingga aku selamat daripada tipu dayanya.


Sesungguhnya tidak ada seorang daripada manusia (yang dilahirkan) melainkan diberikan Allah seorang jin sebagai kawan.

Di antara qarin dan manusia, perbezaannya ialah manusia adalah seumpama bahan tunggangan , manakala qarin (iblis dan syaitan) tadi adalah penunggangnya. Demikianlah, perbandingan yang diberi oleh Rasulullah s.a.w.

Inilah jawapan Allah s.w.t. ketika iblis bersumpah akan membinasakan manusia seperti yang tersebut dalam Surah al-Hijr ayat 42.

Sesungguhnya hamba-hambaku tidak ada kekuasaan bagimu atas mereka kecuali orang yang mengikut kamu iaitu orang orang yang sesat.

Lantaran gangguan-gangguan yang sedia menunggu itu maka Allah menyuruh supaya dibacakan azan (bang) di telinga kanan dan (qamat) di telinga kiri sebaik-baik seorang bayi itu dilahirkan yang salah satu tujuannya untuk mengelakkan daripada gangguan iblis dan syaitan.

Sebuah hadis lain, dari Husain bin Ali r.a. ia berkata bahawa Rasulullah s.a.w. ada bersabda:

Siapa yang melahirkan anak lalu bayi yang dilahirkan itu diazankan pada telinga kanan dan diqamatkan pada telinga kirinya, nescaya ummu sibyan (jin yang menganggu kanak-kanak) tidak akan menganggunya.

Sehubungan dengan gangguan-gangguan ini, Imam Bukhari dalam kitab Sahihnya meriwayatkan bahawa.Rasulullah s.a.w. ada bersabda yang berbunyi:

Apabila malam meliputi (atau apabila malam menyelubungi) maka cegahlah anak-anak kamu, kerana sesungguhnya syaitan-syaitan itu berkeliaran ketika itu. Maka apabila luputlah satu ketika daripada Isyak, maka berilah kebebasan kepada mereka, selak pintu kamu serta sebut nama Allah dan padamkan lampu serta sebut nama Allah, dan tudunglah bekas-bekas minuman kamu dan sebut nama Allah, dan tutuplah bekas-bekas makanan dan menyebut nama Allah biarpun bekas itu telah ditudungi atau direntangi sesuatu ke atasnya.

Jelasnya anak-anak perlu berada dalam rumah pada waktu maghrib. Jangan
biarkan mereka berada di luar rumah kerana pada masa itu segala jeris makhluk
halus sedang keluar dari tempat kediaman masing-masing untuk mencari rezeki sambil mengenakan mangsanya.

Sesungguhnya Allah mencipta malaikat dan jin juga manusia 10 bahagian.Kadar malaikat 9 bahagian, jin dan manusia satu bahagian. Allah ciptakan dari satu bahagian itu dipecahkan kepada 10 bahagian. 9 bahagian daripadanya adalah bilangan jin dan hanya satu bahagian sahaja bilangan manusia.

Maksudnya, di dunia ini terdiri 90% Malaikat, 9% Jin dan hanya 1% Manusia. Hebatnya kuasa Allah.

WaLLahua'lam..
shieldofislam.blogspot.com

Sehari Di MAHSYAR Menyamai 50 Ribu Tahun Di Dunia

Berapakah lamanya manusia berada di Mahsyar iaitu sebelum kita semua dimasukkan ke dalam syurga atau dicampak ke dalam neraka?Di akhirat tidak ada peredaran matahari lantaran matahari telah dilipat oleh Allah, tugasnya telah tamat.

Sebab itulah para sahabat bertanya kepada Rasulullah, berapakah lamanya manusia mesti berada di mahsyar?


Dalam hal ini, Abu Said Al-Khudri meriwayatkan hadis Rasulullah S.A.W. Katanya, Rasulullah S.A.W. telah membacakan firman Allah yang bermaksud:


“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan
sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.”
Surah Al-Ma’arij (70:4)


Para ulama’ membandingkan alam akhirat itu berdasarkan ayat Al-Quran tersebut. Sekiranya manusia berada selama sebulan (30 hari) di akhirat, bandingannya dengan tahun dunia ialah 1.5 bilion tahun.

“Alangkah lamanya,” kata para sahabat apabila mendengar baginda membacakan ayat tersebut. Kemudian Rasulullah bersabda lagi bagi menyahut keluhan para sahabat itu dengan sabdanya yang bermaksud:


“Demi jiwaku yang berada di dalam genggaman Tuhan, sesungguhnya Allah meringankan (tempoh masa di akhirat) bagi orang mukmin hanya sekadar lama masa bagi tempoh waktu melakukan solat fardhu.”

Singkatnya masa yang bakal ditempuh oleh orang mukmin sekadar satu solat fardhu. Lebih-lebih lagi bagi orang yang khusyuk dalam solat. Tetapi ada juga golongan yang resah-gelisah dalam mengerjakan solat walaupun hanya lebih kurang 5 minit lamanya. Sebab itu kita dapati ada orang Islam yang sanggup berlapar semasa bulan Ramadhan, tetapi paling susah untuk menunaikan solat.


Bagi golongan orang mukmin yang sebenar,tempoh masa yang bakal dilalui di padang Mahsyar selama 50 ribu tahun itu terasa amat singkat, seolah-olah seperti melakukan satu solat fardhu sahaja.


Setiap masa di padang Mahsyar ditentukan oleh Allah semata-mata Allah yang memanjangkan dan memendekkan masa. Dialah yang meringankan dan memberatkan suatu tanggungan.

menebar keangkuhan menuai kehinaan

Masih berkaca pada untaian nasihat Luqman Al-Hakim kepada anaknya. Menjelang akhir nasihatnya, Luqman melarang sang anak dari sikap takabur dan memerintahkannya untuk merendahkan diri (tawadhu’). Luqman berkata kepada anaknya:

وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتاَلٍ فَخُوْرٍ


“Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang angkuh dan menyombongkan diri.” (Luqman: 18)



Demikian Luqman melarang untuk memalingkan wajah dan bermuka masam kepada orang lain karena sombong dan merasa dirinya besar, melarang dari berjalan dengan angkuh, sombong terhadap nikmat yang ada pada dirinya dan melupakan Dzat yang memberikan nikmat, serta kagum terhadap diri sendiri. Karena Allah tidak menyukai setiap orang yang menyombongkan diri dengan keadaannya dan bersikap angkuh dengan ucapannya. (Taisirul Karimir Rahman hal. 649)

Pada ayat yang lain Allah k melarang pula:



وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ اْلأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِباَلَ طُوْلاً



“Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mencapai setinggi gunung.” (Al-Isra`: 37)

Demikianlah, seseorang dengan ketakaburannya tidak akan dapat mencapai semua itu. Bahkan ia akan menjadi seorang yang terhina di hadapan Allah k dan direndahkan di hadapan manusia, dibenci, dan dimurkai. Dia telah menjalani akhlak yang paling buruk dan paling rendah tanpa menggapai apa yang diinginkannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 458)

Kehinaan. Inilah yang akan dituai oleh orang yang sombong. Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia harapkan di dunia maupun di akhirat.

‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi n:



يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُوْنَ يَوْمَ الْقِياَمَةِ أَمْثاَلَ الذَّرِّ فِيْ صُوْرَةِ الرِّجاَلِ، يَغْشاَهُمُ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكاَنٍ، يُسَاقُوْنَ إِلَى سِجْنٍ مِنْ جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُوْلَسَ، تَغْلُوْهُمْ ناَرٌ مِنَ اْلأَنْياَرِ، وَيُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِيْنَةِ الْخَباَلِ



“Orang-orang yang sombong dikumpulkan pada hari kiamat seperti semut-semut kecil dalam bentuk manusia, diliputi oleh kehinaan dari segala arah, digiring ke penjara di Jahannam yang disebut Bulas, dilalap oleh api dan diberi minuman dari perasan penduduk neraka, thinatul khabal.1” (HR. At-Tirmidzi, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 434)

Bahkan seorang yang sombong terancam dengan kemurkaan Allah k. Demikian yang kita dapati dari Rasulullah n, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang shahabat mulia, ‘Abdullah bin ‘Umar c:



مَنْ تَعَظَّمَ فِي نَفْسِهِ أَوِ اخْتَالَ فِي مِشْيَتِهِ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ



“Barangsiapa yang merasa sombong akan dirinya atau angkuh dalam berjalan, dia akan bertemu dengan Allah k dalam keadaan Allah murka terhadapnya.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy- Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 427)

Kesombongan (kibr) bukanlah pada orang yang senang dengan keindahan. Akan tetapi, kesombongan adalah menentang agama Allah k dan merendahkan hamba-hamba Allah k. Demikian yang dijelaskan oleh Rasulullah n tatkala beliau ditanya oleh ‘Abdullah bin ‘Umar c, “Apakah sombong itu bila seseorang memiliki hullah2 yang dikenakannya?” Beliau n menjawab, “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki dua sandal yang bagus dengan tali sandalnya yang bagus?” “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki binatang tunggangan yang dikendarainya?” “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki teman-teman yang biasa duduk bersamanya?” “Tidak.” “Wahai Rasulullah, lalu apakah kesombongan itu?” Kemudian beliau n menjawab:



سَفَهُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ



“Meremehkan kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 426)

Tak sedikit pun Rasulullah n membuka peluang bagi seseorang untuk bersikap sombong. Bahkan beliau n senantiasa memerintahkan untuk tawadhu’. ‘Iyadh bin Himar z menyampaikan bahwa Rasulullah n bersabda:



إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ



“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak seorang pun menyombongkan diri atas yang lain dan tak seorang pun berbuat melampaui batas terhadap yang lainnya.” (HR. Muslim no. 2865)

Berlawanan dengan orang yang sombong, orang yang berhias dengan tawadhu’ akan menggapai kemuliaan dari sisi Allah k, sebagaimana yang disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda:



وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ



“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya.” (HR. Muslim no. 2588)

Tawadhu’ karena Allah k ada dua makna. Pertama, merendahkan diri terhadap agama Allah, sehingga tidak tinggi hati dan sombong terhadap agama ini maupun untuk menunaikan hukum- hukumnya. Kedua, merendahkan diri terhadap hamba-hamba Allah k karena Allah k, bukan karena takut terhadap mereka, ataupun mengharap sesuatu yang ada pada mereka, namun semata-mata hanya karena Allah k. Kedua makna ini benar.

Apabila seseorang merendahkan diri karena Allah k, maka Allah k akan mengangkatnya di dunia dan di akhirat. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang merendahkan diri akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya, dan akan dicintai oleh manusia. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/365)

Tak hanya sebatas perintah semata, kisah-kisah dalam kehidupan Rasulullah n banyak melukiskan ketawadhu’an beliau. Beliau n adalah seorang manusia yang paling mulia di hadapan Allah k. Meski demikian, beliau menolak panggilan yang berlebihan bagi beliau. Begitulah yang dikisahkan oleh Anas bin Malik z tatkala orang-orang berkata kepada Rasulullah n, “Wahai orang yang terbaik di antara kami, anak orang yang terbaik di antara kami! Wahai junjungan kami, anak junjungan kami!” Beliau n pun berkata:



يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، إِنِّي لاَ أُرِيْدُ أَنْ تَرْفَعُوْنِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِيهِ اللهُ تَعَالَى، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ



“Wahai manusia, hati-hatilah dengan ucapan kalian, jangan sampai kalian dijerumuskan oleh syaitan. Sesungguhnya aku tidak ingin kalian mengangkatku di atas kedudukan yang diberikan oleh Allah ta’ala bagiku. Aku ini Muhammad bin ‘Abdillah, hamba-Nya dan utusan-Nya.” (HR. An- Nasa`i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 786: hadits shahih menurut syarat Muslim)

Anas bin Malik z mengisahkan:



كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُوْرُ اْلأَنْصَارَ فَيُسَلِّمُ عَلَى صِبْيَانِهِمْ وَيَمْسَحُ بِرُؤُوْسِهِمْ وَيَدْعُو لَهُمْ



“Rasulullah n biasa mengunjungi orang-orang Anshar, lalu mengucapkan salam pada anak-anak mereka, mengusap kepala mereka dan mendoakannya.” (HR An. Nasa`i, dikatakan dalam Ash- Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 796: hadits hasan)

Ketawadhu’an Rasulullah n ini menjadi gambaran nyata yang diteladani oleh para shahabat. Anas bin Malik z pernah melewati anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam pada mereka. Beliau n mengatakan:



كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ



“Nabi n biasa melakukan hal itu.” (HR. Al-Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168)

Memberikan salam kepada anak-anak ini dilakukan oleh Nabi n dan diikuti pula oleh para shahabat beliau g. Hal ini merupakan sikap tawadhu’ dan akhlak yang baik, serta termasuk pendidikan dan pengajaran yang baik, serta bimbingan dan pengarahan kepada anak-anak, karena anak-anak apabila diberi salam, mereka akan terbiasa dengan hal ini dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka.(Syarh Riyadhish Shalihin, 1/366-367)

Pernah pula Abu Rifa’ah Tamim bin Usaid zmenuturkan sebuah peristiwa yang memberikan gambaran ketawadhu’an Nabi n serta kasih sayang dan kecintaan beliau terhadap kaum muslimin:



اِنْتَهَيْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَخْطُبُ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ، رَجُلٌ غَرِيْبٌ جَاءَ يَسْأَلُ عَنْ دِيْنِهِ لاَ يَدْرِي مَا دِيْنُهُ؟ فَأَقْبَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَرَكَ خُطْبَتَهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَيَّ فَأُتِيَ بِكُرْسِيٍّ، فَقَعَدَ عَلَيْهِ، وَجَعَلَ يُعَلِّمُنِي مِمَّا عَلَّمَهُ اللهُ، ثُمَّ أَتَى خُطْبَتَهُ فَأَتَمَّ آخِرَهَا



“Aku pernah datang kepada Rasulullah n ketika beliau berkhutbah. Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang yang asing datang padamu untuk bertanya tentang agamanya, dia tidak mengetahui tentang agamanya.’ Maka Rasulullah n pun mendatangiku, kemudian diambilkan sebuah kursi lalu beliau duduk di atasnya. Mulailah beliau mengajarkan padaku apa yang diajarkan oleh Allah. Kemudian beliau kembali melanjutkan khutbahnya hingga selesai.” (HR. Muslim no. 876)

Begitu banyak anjuran maupun kisah kehidupan Rasulullah n yang melukiskan ketawadhu’an beliau. Demikian pula dari para shahabat g. Tinggallah kembali pada diri ayah dan ibu. Jalan manakah kiranya yang hendak mereka pilihkan bagi buah hatinya? Mengajarkan kerendahan hati hingga mendapati kebahagiaan di dua negeri, ataukah menanamkan benih kesombongan hingga menuai kehinaan di dunia dan akhirat?

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

1 Thinatul khabal adalah keringat atau perasan dari penduduk neraka.

2 Hullah adalah pakaian yang terdiri dari dua potong baju.

Selasa, 30 November 2010

Makna Isra' dan Mi'raj

Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Quran disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa 'ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang.

Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui oleh Muhammad saw. tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira kilah mereka yang menolak peristiwa ini.

Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar AlShiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: "Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya." Oleh sebab itu, uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa tersebut melalui apa yang kita percayai kebenarannya berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh Al-Quran.

Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan Al-Quran adalah masa depan ruhani manusia demi mewujudkan keutuhannya. Uraian Al-Quran tentang Isra' dan Mi'raj merupakan salah satu cara pembuatan skema ruhani tersebut. Hal ini terbukti jelas melalui pengamatan terhadap sistematika dan kandungan Al-Quran, baik dalam bagian-bagiannya yang terbesar maupun dalam ayat-ayatnya yang terinci.

Tujuh bagian pertama Al-Quran membahas pertumbuhan jiwa manusia sebagai pribadi-pribadi yang secara kolektif membentuk umat.

Dalam bagian kedelapan sampai keempat belas, Al-Quran menekankan pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan masyarakat dan konsolidasinya. Tema bagian kelima belas mencapai klimaksnya dan tergambar pada pribadi yang telah mencapai tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya, yakni al-insan al-kamil. Dan karena itu, peristiwa Isra' dan Mi'raj merupakan awal bagian ini, dan berkelanjutan hingga bagian kedua puluh satu, di mana kisah para rasul diuraikan dari sisi pandangan tersebut. Kemudian, masalah perkembangan ruhani manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut sampai bagian ketiga puluh, dengan penjelasan tentang hubungan perkembangan tersebut dengan kehidupan masyarakat secara timbal-balik.

Kemudian, kalau kita melihat cakupan lebih kecil, maka ilmuwan-ilmuwan Al-Quran, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pelbagai disiplin ilmu, menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki pendahuluan yang mengantar atau menyebabkannya. Imam Al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam Al-Quran adalah uraian yang terdapat dalam surat sebelumnya.204 Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat tersebut, seperti dikatakan oleh Al-Biqai'i.205 Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra' adalah surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang berarti lebah.

Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak keajaiban. Keajaibannya itu bukan hanya terlihat pada jenisnya, yang jantan dan betina, tetapi juga jenis yang bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga tidak hanya terlihat pada sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk lubang-lubang yang sama bersegi enam dan diselubungi oleh selaput yang sangat halus menghalangi udara atau bakteri menyusup ke dalamnya, juga tidak hanya terletak pada khasiat madu yang dihasilkannya, yang menjadi makanan dan obat bagi sekian banyak penyakit. Keajaiban lebah mencakup itu semua, dan mencakup pula sistem kehidupannya yang penuh disiplin dan dedikasi di bawah pimpinan seekor "ratu". Lebah yang berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban dan keistimewaan. Misalnya, bahwa sang ratu ini, karena rasa "malu" yang dimiliki dan dipeliharanya, telah menjadikannya enggan untuk mengadakan hubungan seksual dengan salah satu anggota masyarakatnya yang jumlahnya dapat mencapai sekitar tiga puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga tampak pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi, yang dalam hal ini telah dipelajari secara mendalam oleh seorang ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.

Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj. Lebah juga dipilih sebagai pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya. Karena manusia seutuhnya, manusia mukmin, menurut Rasul, adalah "bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan indah, seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang dihasilkan lebah itu."

Dalam cakupan yang lebih kecil lagi, kita melontarkan pandangan kepada ayat pertama surat pengantar tersebut. Di sini Allah berfirman: Telah datang ketetapan Allah (Hari Kiamat). Oleh sebab itu janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya.

Dunia belum kiamat, mengapa Allah mengatakan kiamat telah datang? Al-Quran menyatakan "telah datang ketetapan Allah," mengapa dinyatakan-Nya juga "jangan meminta agar disegerakan datangnya"? Ini untuk memberi isyarat sekaligus pengantar bahwa Tuhan tidak mengenal waktu untuk mewujudkan sesuatu. Hari ini, esok, juga kemarin, adalah perhitungan manusia, perhitungan makhluk. Tuhan sama sekali tidak terikat kepadanya, sebab adalah Dia yang menguasai masa. Karenanya Dia tidak membutuhkan batasan untuk mewujudkan sesuatu. Dan hal ini ditegaskan-Nya dalam surat pengantar ini dengan kalimat: Maka perkataan Kami kepada sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami hanya menyatakan kepadanya "kun" (jadilah), maka jadilah ia (QS 16:40).

Di sini terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan suara. Suara pun membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan para ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan bahwa, pada akhirnya, ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang dikehendaki-Nya. Sesuatu itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa.

Kedua, segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga menurut Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab tersebut yang mewujudkan sesuatu itu? Menurut ilmuwan, tidak. Demikian juga menurut Al-Quran. Apa yang diketahui oleh ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului atau berbarengan dengan terjadinya sesuatu. Bila dinyatakan bahwa sebab itulah yang mewujudkan dan menciptakan sesuatu, muncul sederet keberatan ilmiah dan filosofis.

Bahwa sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun kedahuluan ini tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa ialah yang mewujudkannya. "Cahaya yang terlihat sebelum terdengar suatu dentuman meriam bukanlah penyebab suara tersebut dan bukan pula penyebab telontarnya peluru," kata David Hume. "Ayam yang selalu berkokok sebelum terbit fajar bukanlah penyebab terbitnya fajar," kata Al-Ghazali jauh sebelum David Hume lahir. "Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C, dan dari C ke D, tidaklah dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa pergerakannya dari B ke C adalah akibat pergerakannya dari A ke B," demikian kata Isaac Newton, sang penemu gaya gravitasi.

Kalau demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam tiada lain kecuali "a summary o f statistical averages" (ikhtisar dari rerata statistik). Sehingga, sebagaimana dinyatakan oleh Pierce, ahli ilmu alam, apa yang kita namakan "kebetulan" dewasa ini, adalah mungkin merupakan suatu proses terjadinya suatu kebiasaan atau hukum alam. Bahkan Einstein, lebih tegas lagi, menyatakan bahwa semua apa yang terjadi diwujudkan oleh "superior reasoning power" (kekuatan nalar yang superior). Atau, menurut bahasa Al-Quran, "Al-'Aziz Al-'Alim", Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Inilah yang ditegaskan oleh Tuhan dalam surat pengantar peristiwa Isra' dan Mi'raj itu dengan firman-Nya: Kepada Allah saja tunduk segala apa yang di langit dan di bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka) (QS 16:49-50).

Pengantar berikutnya yang Tuhan berikan adalah: Janganlah meminta untuk tergesa-gesa. Sayangnya, manusia bertabiat tergesa-gesa, seperti ditegaskan Tuhan ketika menceritakan peristiwa Isra' ini, Adalah manusia bertabiat tergesa-gesa (QS 17:11). Ketergesa-gesaan inilah yang antara lain menjadikannya tidak dapat membedakan antara: (a) yang mustahil menurut akal dengan yang mustahil menurut kebiasaan, (b) yang bertentangan dengan akal dengan yang tidak atau belum dimengerti oleh akal, dan (c) yang rasional dan irasional dengan yang suprarasional.

Dari segi lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang mengantarkan uraian Al-Quran tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, dalam surat Isra' sendiri, berulang kali ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut. Simaklah ayat-ayat berikut: Dia (Allah) menciptakan apa-apa (makhluk) yang kamu tidak mengetahuinya (QS 16:8); Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS 16:74); dan Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS 17:85); dan banyak lagi lainnya. Itulah sebabnya, ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya: Dan janganlah kamu mengambil satu sikap (baik berupa ucapan maupun tindakan) yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut; karena sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati, kesemuanya itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban (QS 17:36).

Apa yang ditegaskan oleh Al-Quran tentang keterbatasan pengetahuan manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad ke-20. Schwart, seorang pakar matematika kenamaan Prancis, menyatakan: "Fisika abad ke-19 berbangga diri dengan kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada sajak pun. Sedangkan fisika abad ke-20 ini yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya, walaupun yang disebut materi sekalipun." Sementara itu, teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3% saja, sedang 97% selebihnya di luar kemampuan manusia."

Kalau demikian, seandainya, sekali lagi seandainya, pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman secara ilmiah atas peristiwa Isra' dan Mi'raj ini; kalau betul demikian adanya dan sampai saat ini masih juga demikian, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk membuktikannya secara "ilmiah" menjadi tidak ilmiah lagi. Ini tampak semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis dari ilmu pengetahuan adalah trial and error, yakni observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja. Padahal, peristiwa Isra' dan Mi'raj hanya terjadi sekali saja. Artinya, terhadapnya tidak dapat dicoba, diamati dan dilakukan eksperimentasi.

Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh eksistensialisme, menyatakan: "Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu." Dan itu pula sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata: "Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya." Dan itu pulalah sebabnya mengapa "oleh-oleh" yang dibawa Rasul dari perjalanan Isra' dan Mi'raj ini adalah kewajiban shalat; sebab shalat merupakan sarana terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara ruhani.

Kita percaya kepada Isra' dan Mi'raj, karena tiada perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa yang terjadi berulang kali selama semua itu diciptakan serta berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang Mahaesa.

Sebelum Al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang peristiwa ini, dan sebelum diungkapnya peristiwa ini, digambarkannya bagaimana kelak orang-orang yang tidak mempercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus diambilnya. Allah berfirman: Bersabarlah wahai Muhammad; tiadalah kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah kamu bersedih hati terhadap (keingkaran) mereka. Jangan pula kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang orang yang berbuat kebajikan. (QS 16:127-128). Inilah pengantar Al-Quran yang disampaikan sebelum diceritakannya peristiwa Isra' dan Mi'raj.

Agaknya, yang lebih wajar untuk dipertanyakan bukannya bagaimana Isra' dan Mi 'raj terjadi, tetapi mengapa Isra' dan Mi 'raj.

Seperti yang telah dikemukakan pada awal uraian, Al-Quran, pada bagian kedelapan sampai bagian kelima belas, menguraikan dan menekankan pentingnya pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat beserta konsolidasinya. Ini mencapai klimaksnya pada bagian kelima belas atau surat ketujuh belas, yang tergambar pada pribadi hamba Allah yang di-isra'-kan ini, yaitu Muhammad saw., serta nilai-nilai yang diterapkannya dalam masyarakat beliau. Karena itu, dalam kelompok ayat yang menceritakan peristiwa ini (dalam surat Al-Isra'), ditemukan sekian banyak petunjuk untuk membina diri dan membangun masyarakat.

Pertama, ditemukan petunjuk untuk melaksanakan shalat lima waktu (pada ayat 78). Dan shalat ini pulalah yang merupakan inti dari peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, karena shalat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia seutuhnya. Shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia, karena ia merupakan pengejawantahan dari hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuannya tentang tata kerja alam raya ini, yang berjalan di bawah satu kesatuan sistem. Shalat juga menggambarkan tata inteligensia semesta yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat dan Maha Mengetahui, Tuhan Yang Mahaesa. Dan bila demikian, maka tidaklah keliru bila dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan seseorang tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan khusyuk pula ia melaksanakan shalatnya.

Shalat juga merupakan kebutuhan jiwa. Karena, tidak seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah mengharap atau merasa cemas. Hingga, pada akhirnya, sadar atau tidak, ia menyampaikan harapan dan keluhannya kepada Dia Yang Mahakuasa. Dan tentunya merupakan tanda kebejatan akhlak dan kerendahan moral, apabila seseorang datang menghadapkan dirinya kepada Tuhan hanya pada saat dirinya didesak oleh kebutuhannya.

Shalat juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena shalat, dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar pembangunan. Orang Romawi Kuno mencapai puncak keahlian dalam bidang arsitektur, yang hingga kini tetap mengagumkan para ahli, juga karena adanya dorongan tersebut. Karena itu, Alexis Carrel menyatakan: "Apabila pengabdian, shalat, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, maka hal itu berarti kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut." Dan, untuk diingat, Alexis Carrel bukanlah seorang yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Ia adalah seorang dokter yang telah dua kali menerima hadiah Nobel atas hasil penelitiannya terhadap jantung burung gereja serta pencangkokannya. Dan, menurut Larouse Dictionary, Alexis Carrel dinyatakan sebagai satu pribadi yang pemikiran-pemikirannya secara mendasar akan berpengaruh pada penghujung abad XX ini.

Apa yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan penegasan Al-Quran yang ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang peristiwa Isra' dalam surat Al-Nahl ayat 26. Di situ digambarkan pembangkangan satu kelompok masyarakat terhadap petunjuk Tuhan dan nasib mereka menurut ayat tersebut: Allah menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari fondasinya, lalu atap bangunan itu menimpa mereka dari atas; dan datanglah siksaan kepada mereka dari arah yang mereka tidak duga (QS 16:26).

Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra' dan Mi'raj, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur, antara lain adalah: Jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mereka menaati Allah untuk hidup dalam kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadap mereka ketetapan Kami dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (QS 17:16).

Ditekankan dalam surat ini bahwa "Sesungguhnya orang yang hidup berlebihan adalah saudara-saudara setan" (QS 17:27).

Dan karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam kesederhanaan dan keseimbangan: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu dan sebaliknya), jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal (QS 17:29).

Bahkan, kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam bidang ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang ibadah. Kesederhanaan dalam ibadah shalat misalnya, tidak hanya tergambar dari adanya pengurangan jumlah shalat dari lima puluh menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam petunjuk yang ditemukan di surat Al-Isra' ini juga, yakni yang berkenaan dengan suara ketika dilaksanakan shalat: Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya (QS 17: 110).

Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk dapat mencapai konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di saat yang sama, shalat yang dilaksanakan dengan "jalan tengah" itu tidak mengakibatkan gangguan atau mengundang gangguan, baik gangguan tersebut kepada saudara sesama Muslim atau non-Muslim, yang mungkin sedang belajar, berzikir, atau mungkin sedang sakit, ataupun bayi-bayi yang sedang tidur nyenyak. Mengapa demikian? Karena, dalam kandungan ayat yang menceritakan peristiwa ini, Tuhan menekankan pentingnya persatuan masyarakat seluruhnya. Dengan demikian, masing-masing orang dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan bidangnya, tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan orang lain. Ini sesuai dengan firman Allah:

Katakanlah wahai Muhammad, "Hendaklah tiap-tiap orang berkarya menurut bidang dan kemampuannya masing-masing." Tuhan lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (QS 17:84).

Akhirnya, sebelum uraian ini disudahi, ada baiknya dibacakan ayat terakhir dalam surat yang menceritakan peristiwa Isra' dan Mi'raj ini: Katakanlah wahai Muhammad: "Percayalah kamu atau tidak usah percaya (keduanya sama bagi Tuhan)." Tetapi sesungguhnya mereka yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila disampaikan kepada mereka, maka mereka menyungkur atas muka mereka, sambil bersujud (QS 17: 107).

Itulah sebagian kecil dari petunjuk dan kesan yang dapat kami pahami, masing-masing dari surat pengantar uraian peristiwa Isra ; yakni surat Al-Nahl, dan surat Al-Isra' sendiri. Khusus dalam pemahaman tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, semoga kita mampu menangkap gejala dan menyuarakan keyakinan tentang adanya ruh intelektualitas Yang Mahaagung, Tuhan Yang Mahaesa di alam semesta ini, serta mampu merumuskan kebutuhan umat manusia untuk memujaNya sekaligus mengabdi kepada-Nya.

Selasa, 23 November 2010

ISLAM DAN AKULTURASI BUDAYA LOKAL

ISLAM DAN AKULTURASI BUDAYA LOKAL

Muqaddimah
Ketika seorang pakar menyentak kesadaran kita dengan isu mengganti "Assalamu'alaikum" dengan ucapan "Selamat Pagi" sebagai dalih sampel dari pribumisasi Islam, kita pun bertanya; "Apa tujuan di balik pernyataan itu?" Sikap pro dan kontra pun bermunculan. Kemudian pertanyaan tadi bisa dilanjutkan; apakah ada ketegangan antara agama yang cenderung permanen dengan budaya yang dinamis? Bagaimana hubungan ajaran agama yang universal dengan setting budaya lokal yang melingkupinya? Lalu, bagaimana sikap salaf dalam mengakomodasi tradisi dan nilai-nilai Islam. Kemudian apakah syara' menjustifikasi hal itu? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Universalisme Islam
Universalisme (al-'Alamiyah) Islam adalah salah satu karakteristik Islam yang agung. Islam sebagai agama yang besar berkarakteristikkan: (1) Rabbaniyyah, (2) Insaniyyah (humanistik), (3) Syumul (totalitas) yang mencakup unsur keabadian, universalisme dan menyentuh semua aspek manusia (ruh, akal, hati dan badan), (4) Wasathiyah (moderat dan seimbang), (5) Waqi'iyah (realitas), (6) Jelas dan gamblang, (7) Integrasi antara al-Tsabat wa al-Murunah (permanen dan elastis).
Universalisme Islam yang dimaksud adalah bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat. Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dia-lah bangsa yang terpilih, dan karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya.
Risalah Islam adalah hidayah Allah untuk segenap manusia dan rahmat-Nya untuk semua hamba-Nya. Manifesto ini termaktub abadi dalam firman-Nya: "Dan tidak Kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmah bagi seluruh alam". "Katakanlah (Muhammad) agar ia menjadi juru peringatan bagi seru sekalian alam.4
Ayat-ayat di atas yang nota bene Makkiyah, secara implisit membantah tuduhan sebagian orientalis yang menyatakan bahwa Muhammad Saw tidak memproklamirkan pengutusan dirinya untuk seluruh umat manusia pada awal kerisalahannya, akan tetapi setelah mendapat kemenangan atas bangsa Arab.5
Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting, dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya.6 Ajaran-ajaran Islam yang mencakup aspek akidah, syari'ah dan akhlak (yang sering kali disempitkan oleh sebagian masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan sikap hidup), menampakkan perhatiannya yang sangat besar terhadap persoalan utama kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat dari enam tujuan umum syari'ah yaitu; menjamin keselamatan agama, badan, akal, keturunan, harta dan kehormatan. Selain itu risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan (social values) yang luhur, yang bisa di katakan sebagai tujuan dasar syari'ah yaitu; keadilan, ukhuwwah, takaful, kebebasan dan kehormatan. 7
Semua ini akhirnya bermuara pada keadilan sosial dalam arti sebenarnya. Dan seperti kita tahu, bahwa pandangan hidup (world view, weltanschaung) yang paling jelas adalah pandangan keadilan sosial.8
Kosmopolitanisme Kebudayaan Islam
Selain merupakan pancaran makna Islam itu sendiri serta pandangan tentang kesatuan kenabian (wahdat al-nabawiyah; the unity of prophet) berdasarkan makna Islam itu, serta konsisten dengan semangat prinsip-prinsip itu semua, kosmopolitanisme budaya Islam juga mendapat pengesahan-pengesahan langsung dari kitab suci seperti suatu pengesahan berdasarkan konsep-konsep kesatuan kemanusiaan (wihdat al-insaniyah; the unity of humanity) yang merupakan kelanjutan konsep kemahaesaan Tuhan (wahdaniyat atau tauhid; the unity of god). Kesatuan asasi ummat manusia dan kemanusiaan itu ditegaskan dalam firman-firman:
"Ummat manusia itu tak lain adalah ummat yang tunggal, tapi kemudian mereka berselisih (sesama mereka) jika seandainya tidak ada keputusan (kalimah) yang telah terdahulu dari Tuhanmu, maka tentulah segala perkara yang mereka perselisihkan itu akan diselesaikan (sekarang juga)".9
"Ummat manusia itu dulunya adalah ummat yang tunggal, kemudian Allah mengutus para nabi untuk membawa kabar gembira dan memberi peringatan dan bersama para nabi itu diturunkannya kitab suci dengan membawa kebenaran, agar kitab suci itu dapat memberi keputusan tentang hal-hal yang mereka perselisihkan..." 10
Para pengikut Nabi Muhammad diingatkan untuk selalu menyadari sepenuhnya kesatuan kemanusiaan itu dan berdasarkan kesadaran itu mereka membentuk pandangan budaya kosmopolit, yaitu sebuah pola budaya yang konsep-konsep dasarnya meliputi, dan diambil dari dari seluruh budaya ummat manusia. 11
Refleksi dan manifestasi kosmopolitanisme Islam bisa dilacak dalam etalase sejarah kebudayaan Islam sejak jaman Rasulullah, baik dalam format non material seperti konsep-konsep pemikiran, maupun yang material seperti seni arsitektur bangunan dan sebagainya. Pada masa awal Islam, Rasulullah Saw berkhutbah hanya dinaungi sebuah pelepah kurma. Kemudian, tatkala kuantitas kaum muslimin mulai bertambah banyak, dipanggillah seorang tukang kayu Romawi. Ia membuatkan untuk Nabi sebuah mimbar dengan tiga tingkatan yang dipakai untuk khutbah Jumat dan munasabah-munasabah lainnya. Kemudian dalam perang Ahzab, Rasul menerima saran Salman al-Farisy untuk membuat parit (khandaq) di sekitar Madinah. Metode ini adalah salah satu metode pertahanan ala Persi. Rasul mengagumi dan melaksanakan saran itu. Beliau tidak mengatakan: "Ini metode Majusi, kita tidak memakainya!". Para sahabat juga meniru manajemen administrasi dan keuangan dari Persi, Romawi dan lainnya. Mereka tidak ! keberatan dengan hal itu selama menciptakan kemashlahatan dan tidak bertentangan dengan nas. Sistem pajak jaman itu diadopsi dari Persi sedang sistem perkantoran (diwan) berasal dari Romawi.12
Pengaruh filsafat Yunani dan budaya Yunani (hellenisme) pada umumnya dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam sudah bukan merupakan hal baru lagi. Seperti halnya budaya Yunani, budaya Persia juga amat besar sahamnya dalam pengembangan budaya Islam. Jika dinasti Umawiyah di Damascus menggunakan sistem administratif dan birokratif Byzantium dalam menjalankan pemerintahannya, dinasti Abbasiyah di Baghdad (dekat Tesiphon, ibu kota dinasti Persi Sasan) meminjam sistem Persia. Dan dalam pemikiran, tidak sedikit pengaruh-pengaruh Persianisme atau Aryanisme (Iranisme) yang masuk ke dalam sistem Islam. Hal ini terpantul dengan jelas dalam buku al-Ghazali (ia sendiri orang Parsi), Nashihat al-Mulk, siyasat namah (pedoman pemerintahan), yang juga banyak menggunakan bahan-bahan pemikiran Persi. 13
Islam, Bias Arabisme dan Akulturasi Timbal Balik dengan Budaya Lokal
Walaupun Islam sebagai agama bersifat universal yang menembus batas-batas bangsa, ras, klan dan peradaban, tak bisa dinapikan bahwa unsur Arab mempunyai beberapa keistimewaan dalam Islam. Ada hubungan kuat yang mengisyaratkan ketiadaan kontradiksi antara Islam sebagai agama dengan unsur Arab. Menurut Dr. Imarah, hal ini bisa dilihat dari beberapa hal :
Pertama, Islam diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah, seorang Arab. Juga, mukjizat terbesar agama ini, al-Quran, didatangkan dengan bahasa Arab yang jelas (al-Mubin), yang dengan ketinggian sastranya dapat mengungguli para sastrawan terkemuka Arab sepanjang sejarah. Sebagaimana memahami dan menguasai al-Quran sangat sulit dengan bahasa apapun selain Arab. Implikasinya, Islam menuntut pemeluknya jika ingin menyelami dan mendalami makna kandungan al-Quran, maka hendaknya mengarabkan diri.
Kedua, dalam menyiarkan dakwah Islam yang universal, bangsa Arab berada di garda depan, dengan pimpinan kearaban Nabi dan al-Quran, kebangkitan realita Arab dari segi "sebab turunnya wahyu" dengan peran sebagai buku catatan interpretatif terhadap al-Qur'an dan lokasi dimulainya dakwah di jazirah Arab sebagai "peleton pertama terdepan" di barisan tentara dakwahnya.
Ketiga, jika agama-agama terdahulu mempunyai karakteristik yang sesuai dengan konsep Islam lokal, kondisional dan temporal, pada saat Islam berkarakteristikkan universal dan mondial, maka posisi mereka sebagai "garda terdepan" agama Islam adalah menembus batas wilayah mereka.14
Walaupun begitu, menurut pengamatan Ibnu Khaldun, seorang sosiolog dan sejarawan muslim terkemuka, bahwa di antara hal aneh tapi nyata bahwa mayoritas ulama dan cendekiawan dalam agama Islam adalah 'ajam (non Arab), baik dalam ilmu-ilmu syari'at maupun ilmu-ilmu akal. Kalau toh diantara mereka orang Arab secara nasab, tetapi mereka 'ajam dalam bahasa, lingkungan pendidikan dan gurunya. 15
Lebih lanjut, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa bersamaan dengan meluasnya daerah Islam, muncullah banyak masalah dan bid'ah, bahasa Arab sudah mulai terpolusikan, maka dibutuhkan kaidah-kaidah Nahwu. Ilmu-ilmu syari'at menjadi keterampilan atau keahlian istinbath, deduktif, teoritisasi dan analogi. Ia membutuhkan ilmu-ilmu pendukung yang menjadi cara-cara dan metode-metode berupa pengetahuan undang-undang bahasa Arab dan aturan-aturan istinbath, qiyas yang diserap dari aqidah-aqidah keimanan berikut dalil-dalilnya, karena saat itu muncul bid'ah-bid'ah dan ilhad (atheisme). Maka jadilah ilmu-ilmu ini semua ilmu-ilmu keterampilan yang membutuhkan pengajaran. Hal ini masuk dalam golongan komoditi industri, dan sebagaimana telah dijelaskan, bahwa komoditi industri adalah peradaban orang kota sedangkan orang Arab adalah sangat jauh dari hal ini.16 Ibnu Khaldun menyebutkan, intelektual-intelektual yang mempunyai kontribusi sangat besar dalam ilmu Nahwu seperti Imam Sibawaih, al-Farisi, dan al-Zujjaj. Mereka semua adalah 'ajam. Begitu juga intelektual-intelektual dalam bidang hadits, ushul fiqih, ilmu kalam dan tafsir. Benarlah sabda Rasulullah; "Jika saja ilmu digantungkan diatas langit, maka akan diraih oleh orang-orang dari Persia".17
Kita lihat juga bahwa budaya Persia; budaya yang pernah jaya dan saat Islam masuk; ia sedang menyusut, adalah memiliki pengaruh yang demikian dalam, luas, dinamis dan kreatif terhadap perkembangan peradaban Islam. Lihat saja al-Ghazali, meskipun ia kebanyakan menulis dalam bahasa Arab sesuai konvesi besar kesarjanaan saat itu, ia juga menulis beberapa buku dalam bahasa Persi. Lebih dari itu, dalam menjabarkan berbagai ide dan argumennya, dalam menandaskan mutlaknya nilai keadilan ditegakkan oleh para penguasa, ia menyebut sebagai contoh pemimpin yang adil itu tidak hanya Nabi saw dan para khalifah bijaksana khususnya Umar bin Khattab, tetapi juga Annushirwan, seorang raja Persia dari dinasti Sasan.18
Menarik untuk diketengahkan juga walaupun saat ini Persia atau Iran menjadikan Syiah sebagai madzhab, namun lima dari penulis kumpulan hadits Sunni dan Kutub as-Sittah berasal dari Persia. Mereka adalah Imam Bukhari, Imam Muslim al-Naisaburi, Imam Abu Dawud al-Sijistani, Imam al Turmudzi dan Imam al-Nasai.
Dari paparan di atas, menunjukkan kepada kita betapa kebudayaan dan peradaban Islam dibangun diatas kombinasi nilai ketaqwaan, persamaan dan kreatifitas dari dalam diri Islam yang universal dengan akulturasi timbal balik dari budaya-budaya lokal luar Arab yang terislamkan. Pun tidak hendak mempertentangkan antara Arab dan non Arab. Semuanya tetap bersatu dalam label "muslim".
"Yang terbaik dan termulia adalah yang paling taqwa".19
"yang paling suci, yang paling banyak dan ikhlas kontribusi amal-nya untuk kemulian Islam".20
Akulturasi Islam dengan Budaya di Indonesia
Seperti di kemukakan di atas, Islam adalah agama yang berkarakteristikkan universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam.21
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan "pribumisasi Islam".
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep 'Meru' dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.22
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian. 23
Yang patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia.
Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu banyak mengadopsi konsep-konsep Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan istilah-istilah kata benda yang banyak sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa Jawa dan Melayu juga menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan. Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah istilah-istilah pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam khazanah budaya populer. 24
Dalam hal penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari Islam, tentunya perlu membedakan mana yang "Arabi-sasi", mana yang "Islamisasi". Penggunaan dan sosialisasi terma-terma Islam sebagai manifestasi simbolik dari Islam tetap penting dan signifikan serta bukan seperti yang dikatakan Gus Dur, menyibukkan dengan masalah-masalah semu atau hanya bersifat pinggiran. 25 Begitu juga penggunaan term shalat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari kata 'nyembah sang Hyang') adalah proses Islamisasi bukannya Arabisasi. Makna substansial dari shalat mencakup dimensi individual-komunal dan dimensi peribumisasi nilai-nilai substansial ini ke alam nyata. Adalah naif juga mengganti salam Islam "Assalamu'alaikum" dengan "Selamat Pagi, Siang, Sore ataupun Malam". Sebab esensi doa dan penghormatan yang terkandung dalam salam tidak terdapat dalam ucapan "Selamat Pagi" yang cenderung basa-basi, selain salam itu sendiri memang dianjurkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya.
'Urf sebagai justifikasi yang dinamis
Dalam syariat Islam yang dinamis dan elastis, terdapat landasan hukum yang dinamakan 'urf. 'Urf adalah sesuatu yang menjadi kebiasaan dan dijalankan oleh manusia, baik berupa perbuatan yang terlakoni diantara mereka atau lafadz yang biasa mereka ucapkan untuk makna khusus yang tidak dipakai (yang sedang baku). 26
Dari segi shahih tidaknya, 'urf terbagi dua: 'urf shahih dan fasid. Yang pertama adalah adat kebiasaan manusia yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, seperti kebiasaan seorang istri tidak dapat pindah ke rumah suaminya kecuali setelah menerima sebagian dari mahar, karena mahar terbagi dua; ada yang didahulukan dan ada yang diakhirkan. Sedangkan yang diberikan oleh si peminang pada saat tunangan di anggap hadiah bukan bagian dari mahar.27 'Urf Shahih ini wajib diperhatikan dalam proses pembuatan hukum dan pemutusan hukum di pengadilan yang disebabkan adat kebiasaan manusia, kebutuhan dan kemashlahatan mereka. 'Urf Fasid adalah adat kebiasaan manusia menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal seperti kebiasaan makan riba, ikhthilath (campur baur) antara pria dan wanita dalam pesta. 28 'Urf ini tidak boleh digunakan sumber hukum, karena bertentangan dengan syariat.
Validitas 'urf dalam syariah diambil dari ayat; "Berilah permaafan, perintahkan dengan yang makruf dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh". 29 "Dan dari ucapan Ibnu Mas'ud; "Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka menurut Allah adalah baik. Dan sebaliknya yang dipandang jelek oleh mereka, menurut Allah adalah jelek". 30
Dari dua dalil ini para fuqaha madzahib arba'ah menjadikan 'urf sebagai landasan hukum.
Dalam banyak hal, syara' tidak memberikan batasan-batasan yang kaku, akan tetapi memberikan kelonggaran kepada 'urf untuk menentukan hukumnya. Seperti dalam ayat; "Kewajiban suami memberikan rizki dan pakaian kepada mereka (isteri-isterinya) dengan makruf. 31 "Dan bagi wanita-wanita yang ditalak, (berhak diberi) harta secara makruf". 32
Artinya, 'ufrlah yang menghukumi dan membatasi nafkah kepada istri dan harta mut'ah bagi isteri yang ditalak.
Karenanya, ulama ushul merumuskan sebuah kaidah, "al-'adah muhakkamah". Dan 'urf memiliki i'tibar (pertimbangan) dalam syara'. Imam Malik membangun banyak hukum-hukumnya atas dasar amal penduduk Madinah. Abu Hanifah dan pengikutnya berselisih pendapat dalam beberapa masalah karena menimbang perbedaan 'urf. Al-Syafi'i tatkala tinggal di Mesir merubah sebagian hukum yang ia tetapkan di Bagdhad karena perbedaan 'urf.33 Bahkan, Imam al-Qarafi al-Maliki, menjelaskan dalam kitabnya; "al-Ahkam", bahwa melanggengkan hukum-hukum yang dasarnya 'urf dan adat, sementara adat kebiasaan itu selalu berubah adalah menyalahi ijma' dan tidak mengetahui agama. 34