Selasa, 07 Desember 2010

Hikmah Pengharaman Babi

Hal ini penting untuk diketahui, terutama oleh pemuda-pemuda kita yang sering pergi ke negara-negara Eropa dan Amerika, yang menjadikan daging babi sebagai makanan pokok dalam hidangan mereka.

Dalam kesempatan ini, saya sitir kembali kejadian yang berlangsung ketika Imam Muhammad Abduh mengunjungi Perancis. Mereka bertanya kepadanya mengenai rahasia diharamkannya babi dalam Islam. Mereka bertanya kepada Imam, "Kalian (umat Islam) mengatakan bahwa babi haram, karena ia memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba-mikroba dan bakteri-bakteri lainnya. Hal itu sekarang ini sudah tidak ada. Karena babi diternak dalam peternakan modern, dengan kebersihan terjamin, dan proses sterilisasi yang mencukupi. Bagaimana mungkin babi-babi itu terjangkit cacing pita atau bakteri dan mikroba lainnya.?"

Imam Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan dengan kecerdikannya beliau meminta mereka untuk menghadirkan dua ekor ayam jantan beserta satu ayam betina, dan dua ekor babi jantan beserta satu babi betina.

Mengetahui hal itu, mereka bertanya, "Untuk apa semua ini?" Beliau menjawab, "Penuhi apa yang saya pinta, maka akan saya perlihatkan suatu rahasia."

Mereka memenuhi apa yang beliau pinta. Kemudian beliau memerintahkan agar melepas dua ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam betina dalam satu kandang. Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling membunuh, untuk mendapatkan ayam betina bagi dirinya sendiri, hingga salah satu dari keduanya hampir tewas. Beliau lalu memerintahkan agar mengurung kedua ayam tersebut.

Kemudian beliau memerintahkan mereka untuk melepas dua ekor babi jantan bersama dengan satu babi betina. Kali ini mereka menyaksikan keanehan. Babi jantan yang satu membantu temannya sesama jantan untuk melaksanakan hajat seksualnya, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri atau keinginan untuk menjaga babi betina dari temannya.

Selanjutnya beliau berkata, "Saudara-saudara, daging babi membunuh 'ghirah' orang yang memakannya. Itulah yang terjadi pada kalian. Seorang lelaki dari kalian melihat isterinya bersama lelaki lain, dan membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan seorang bapak di antara kalian melihat anak perempuannya bersama lelaki asing, dan kalian membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan was-was, karena daging babi itu menularkan sifat-sifatnya pada orang yang memakannya."

Kemudian beliau memberikan contoh yang baik sekali dalam syariat Islam. Yaitu Islam mengharamkan beberapa jenis ternak dan unggas yang berkeliaran di sekitar kita, yang memakan kotorannya sendiri. Syariah memerintahkan bagi orang yang ingin menyembelih ayam, bebek atau angsa yang memakan kotorannya sendiri agar mengurungnya selama tiga hari, memberinya makan dan memperhatikan apa yang dikonsumsi oleh hewan itu. Hingga perutnya bersih dari kotoran-kotoran yang mengandung bakteri dan mikroba. Karena penyakit ini akan berpindah kepada manusia, tanpa diketahui dan dirasakan oleh orang yang memakannya. Itulah hukum Allah, seperti itulah hikmah Allah.

Ilmu pengetahuan modern telah mengungkapkan banyak penyakit yang disebabkan mengkonsumsi daging babi. Sebagian darinya disebutkan oleh Dr. Murad Hoffman, seorang Muslim Jerman, dalam bukunya "Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman", halaman 130-131: "Memakan daging babi yang terjangkiti cacing babi tidak hanya berbahaya, tetapi juga dapat menyebabkan meningkatnya kandungan kolestrol dan memperlambat proses penguraian protein dalam tubuh, yang mengakibatkan kemungkinan terserang kanker usus, iritasi kulit, eksim, dan rematik. Bukankah sudah kita ketahui, virus-virus influenza yang berbahaya hidup dan berkembang pada musim panas karena medium babi?"

Dr. Muhammad Abdul Khair, dalam bukunya Ijtihâdât fi at Tafsîr al Qur'an al Karîm, halaman 112, menyebutkan beberapa penyakit yang disebabkan oleh daging babi: "Daging babi mengandung benih-benih cacing pita dan cacing trachenea lolipia. Cacing-cacing ini akan berpindah kepada manusia yang mengkonsumsi daging babi tersebut. Patut dicatat, hingga saat ini, generasi babi belum terbebaskan dari cacing-cacing ini. Penyakit lain yang ditularkan oleh daging babi banyak sekali, di antaranya:

1. Kolera babi. Yaitu penyakit berbahaya yang disebabkan oleh virus
2. Keguguran nanah, yang disebabkan oleh bakteri prosillia babi.
3. Kulit kemerahan, yang ganas dan menahun. Yang pertama bisa menyebabkan kematian dalam beberapa kasus, dan yang kedua menyebabkan gangguan persendian.
4. Penyakit pengelupasan kulit.
5. Benalu eskares, yang berbahaya bagi manusia.

Fakta-fakta berikut cukup membuat seseorang untuk segera menjauhi babi:

1. Babi adalah hewan yang kerakusannya dalam makan tidak tertandingi hewan lain. Ia makan semua makanan di depannya. Jika perutnya telah penuh atau makanannya telah habis, ia akan memuntahkan isi perutnya dan memakannya lagi, untuk memuaskan kerakusannya. Ia tidak akan berhenti makan, bahkan memakan muntahannya.
2. Ia memakan semua yang bisa dimakan di hadapannya. Memakan kotoran apa pun di depannya, entah kotoran manusia, hewan atau tumbuhan, bahkan memakan kotorannya sendiri, hingga tidak ada lagi yang bisa dimakan di hadapannya.
3. Ia mengencingi kotoranya dan memakannya jika berada di hadapannya, kemudian memakannya kembali.
4. Ia memakan sampah, busuk-busukan, dan kotoran hewan.
5. Ia adalah hewan mamalia satu-satunya yang memakan tanah, memakannya dalam jumlah besar dan dalam waktu lama, jika dibiarkan.
6. Kulit orang yang memakan babi akan mengeluarkan bau yang tidak sedap.
7. Penelitian ilmiah modern di dua negara Timur dan Barat, yaitu Cina dan Swedia --Cina mayoritas penduduknya penyembah berhala, sedangkan Swedia mayoritas penduduknya sekular-- menyatakan: daging babi merupakan merupakan penyebab utama kanker anus dan kolon. Persentase penderita penyakit ini di negara-negara yang penduduknya memakan babi, meningkat secara drastis. Terutama di negara-negara Eropa, dan Amerika, serta di negara-negara Asia (seperti Cina dan India). Sementara di negara-negara Islam, persentasenya amat rendah, sekitar 1/1000. Hasil penelitian ini dipublikasikan pada 1986, dalam Konferensi Tahunan Sedunia tentang Penyakit Alat Pencernaan, yang diadakan di Sao Paulo.

Kini kita tahu betapa besar hikmah Allah mengharamkan daging dan lemak babi. Untuk diketahui bersama, pengharaman tersebut tidak hanya daging babi saja, namun juga semua makanan yang diproses dengan lemak babi, seperti beberapa jenis permen dan coklat, juga beberapa jenis roti yang bagian atasnya disiram dengan lemak babi. Kesimpulannya, semua hal yang menggunakan lemak hewan hendaknya diperhatikan sebelum disantap. Kita tidak memakannya kecuali setelah yakin bahwa makanan itu tidak mengandung lemak atau minyak babi, sehingga kita tidak terjatuh ke dalam kemaksiatan terhadap Allah SWT, dan tidak terkena bahaya-bahaya yang melatarbelakangi Allah SWT mengharamkan daging dan lemak babi.

FIQH AL-KHULAFA' AL-RASYIDIN: FIQH PENGUASA

Seorang laki-laki datang menemui 'Umar bin Khathab: "Saya
dalam keadaan junub dan tidak ada air." Maksud kedatangannya
untuk menanyakan apakah ia harus shalat atau tidak.

'Umar menjawab, "Jangan shalat sampai engkau mendapatkan air."
'Ammar bin Yasir berkata pada 'Umar bin Khathab: "Tidakkah
Anda ingat. Dulu --engkau dan aku-- pernah berada dalam
perjalanan. Kita dalam keadaan junub. Engkau tidak shalat,
sedangkan aku berguling-guling di atas tanah. Aku sampaikan
kejadian ini kepada Rasulullah saw. Dan Nabi berkata, cukuplah
bagi kamu berbuat demikian."

Mendengar demikian Umar menegur 'Ammar: "Ya Ammar, takutlah
pada Allah", Kata Ammar, "Ya Amir al-Mu'minin, jika engkau
inginkan, aku tidak akan menceritakan hadits ini selama engkau
hidup." [1]

"Yang dimaksud Ammar," kata Ibn Hajar, [2] "Aku melihat memang
lebih baik tidak meriwayatkan hadits ini ketimbang
meriwayatkannya Aku setuju denganmu, dan menahan diriku. Toh,
aku sudah menyampaikannya, sehingga aku tidak bersalah."

Sejak itu, 'Ammar tidak meriwayatkan peristiwa itu lagi. 'Umar
tetap berpegang teguh pada pendapatnya -- orang junub, bila
tidak ada air, tidak perlu shalat. "Wa hadza madzab masyhur
'an 'Umar," kata Ibn Hajar. Semua sahabat menolak pendapat
Umar, kecuali Abdullah bin Mas'ud. Al-Bukhari mencatat
perdebatan Abdullah bin Mas'ud dengan Abu Musa al-Asy'ari
tentang kasus ini pada hadits No. 247. Abu Musa menentang
pendapat Abdullah --sekaligus madzhab Umar-- dengan mengutip
ayat ("jika kalian tak mendapatkan air hendaklah tayamum
dengan tanah yang baik"). Menarik untuk dicatat bahwa kelak
dengan merujuk ayat yang sama, mazhab Hanafi melanjutkan
mazhab 'Umar.

Lebih menarik lagi untuk kita catat adalah beberapa pelajaran
dari riwayat di atas. Pertama, memang terjadi perbedaan paham
di antara sahabat dalam masalah fiqhiyah Kedua, lewat
kekuasaan, 'Umar menghendaki pembakuan paham dan mengeliminasi
pendapat yang berlainan. Ketiga, terlihat ada sikap
hiperkritis dalam menerima atau menyampaikan riwayat Dan
keempat, perbedaan di antara para sahabat berpengaruh besar
pada ikhtilaf kaum Muslim pada abad-abad berikutnya

Karena itu membicarakan fiqh para sahabat menjadi sangat
penting sebagai pijakan bagi pembahasan masalah fiqh mutakhir.
Saya akan memulai makalah ini dengan membahas urgensi fiqh
sahabat dalam keseluruhan pemikiran fiqhiyah. Setelah itu,
saya akan menjelaskan sebab-musabab timbulnya ikhtilaf fiqh di
antara para sahabat, karakteristik fiqh sahabat, dan
contoh-contoh fiqh al-khulafa al-rasyidin.

URGENSI FIQH SAHABAT

Fiqh shahabi memperoleh kedudukan yang sangat penting dalam
khazanah pemikiran Islam. Pertama, sahabat --sebagaimana
didefinisikan ahli hadits-- adalah orang yang berjumpa dengan
Rasulullah saw dan meninggal dunia sebagai orang Islam. [3]
Dari makalah kita mengenal sunnah Rasulullah, karena itu, dari
mereka juga kita mewarisi ikhtilaf di kalangan kaum Muslim.

Kedua, zaman sahabat adalah zaman segera setelah berakhirnya
masa tasyri'. Inilah embrio ilmu fiqh yang pertama. Bila pada
zaman tasyri' orang memverifikasi pemahaman agamanya atau
mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada Rasulullah,
pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri sendiri. Sementara
itu, perluasan kekuasaan Islam dan interaksi antara Islam
dengan peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah
baru. Dan para sahabat merespon situasi ini dengan
mengembangkan fiqh (pemahaman) mereka. Ketika menceritakan
ijtihad pada zaman sahabat, Abu Zahrah menulis: [4]

Di antara sahabat ada yang berijtihad dalam batas-batas
al-Kitab dan al-Sunnah, dan tidak melewatinya; ada pula
yang berijtihad dengan ra'yu bila tidak ada nash, dan
bentuk ra'yu-nya bermacam-macam; ada yang berijtihad
dengan qiyas seperti Abdullah bin Mas'ud; dan ada yang
berijtihad dengan metode mashlahat, bila tidak ada nash.

Dengan demikian, zaman sahabat juga melahirkan prinsip-prinsip
umum dalam mengambil keputusan hukum (istinbath; al-hukm.);
yang nanti diformulasikan dalam kaidah-kaidah ushul fiqh.

Ketiga, ijtihad para sahabat menjadi rujukan yang harus
diamalkan, perilaku mereka menjadi sunnah yang diikuti.
Al-Syathibi [5] menulis, "Sunnah sahabat r.a. adalah sunnah
yang harus diamalkan dan dijadikan rujukan." Dalam
perkembangan ilmu fiqh, madzhab sahabat --sebagai ucapan dan
perilaku yang keluar dari para sahabat-- akhirnya menjadi
salah satu sumber hukum Islam di samping istihsan, qiyas,
mashalih mursalah dan sebagainya. Madzhab sahabat pun menjadi
hujjah. Tentang hal ini, ulama berbeda pendapat. Sebagian
menganggaprlya sebagai hujjah mutlak; sebagian lagi sebagai
hujjah bila bertentangan dengan qiyas; sebagian lainnya hanya
menganggap hujjah pada pendapat Abu Bakar dan Umar saja,
berdasarkan hadits ("berpeganglah pada dua orang sesudahku,
yakni Abu Bakar dan Umar"); dan sebagian yang lain,
berpendapat bahwa yang menjadi hujjah hanyalah kesepakatan
khulafa' al-Rasyidin. [6]

Terakhir keempat, ini yang terpenting, ahl al-Sunnah sepakat
menetapkan bahwa seluruh sallabat adalah baik (al-shahabiy
kulluhum 'udul). Mereka tak boleh dikritik, dipersalahkan,
atau dinilai sebagaimana perawi hadits lain. Imam ahli jarh
dan ta'dil, Abu Hatim al-Razi dalam pengantar kitabnya
menulis: [7]

Adapun sahabat Rasulullah saw, mereka adalah orang-orang
yang menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui tafsir dar
ta'wil, yang dipilih Allah untuk- menemani Nabi-Nya, untuk
menolongnya, menegakkan agamanya, memenangkan ke
benarannya... Allah memuliakan mereka dengan karunia-Nya
menempatkan kedudukan mereka pada tempat ikutan. Mereka
dibersikkan dari keraguan, dusta, kekeliruan, keraguan
kesombongan, dan celaan. Allah menamai mereka sebagai
'udul al-ummah (umat yang paling bersih)... Merekalah
'udul al-ummah, pemimpin-pemimpin hidayah, hujjah agama,
dan pembawa al-Qur'an dan al-'Sunnah.

Karena posisi sahabat begitu istimewa, maka tidak mengherankan
bila mazhab sahabat menjadi rujukan penting bagi perkembangan
fiqh Islam sepanjang sejarah. Tentu saja, menurut kesepakatan
ahl al-sunnah, di antara para sahabat itu yang paling penting
adalah khulafa al-rasyidun. Bila mereka sepakat, pendapat
mereka dapat membantu memecahkan masalah fiqh; bila mereka
ikhtilaf, mazhab sahabat menimbulkan kemusykilan yang sulit
diatasi. Lalu mengapa mereka ikhtilaf?

PENYEBAB IKHTILAF DI KALANGAN SAHABAT

Salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat adalah
prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak
terjadi pada zaman Rasulullah saw. Sementara itu, setelah
Rasulullah wafat, putuslah masa tasyi'. Menghadapi
masalah-masalah baru itu, muncul dua pandangan. [8]

Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan
hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur'an setelah
Rasulullah wafat dipegang ahl al-Bait. Hanya merekalah,
menurut nash dari Rasul, yang harus dirujuk untuk
menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum
Allah. Kelompok ini tidak mengalami kesulitan dalam masa
berhentinya wahyu, karena mereka tahu betul --tugas mereka
adalah mengacu pada Ma'shumun.

Kelompok kedua memandang tidak ada orang tertentu yang
ditunjuk rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah
Ilahi. Al-Qur'an dan al-Sunnah adalah sumber untuk menarik
hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di
masyarakat. Kelompok ini --kelak disebut Ahl al-Sunnah--
ternyata tidak mudah mengambil hukum dari nash, karena banyak
hal tak terjawab oleh nash. Mereka akhirnya menggunakan
metode-metode ijtidah seperti qiyas atau istihsan.

Semua Khalifah al-Rasyidin termasuk kelompok kedua, kecuali
Ali bin Abi Thalib. Kelompok kedua lebih banyak menggunakan
ra'yu, dan kelompok pertama lebih banyak merujuk nash.
Kelompok kedua banyak menggunakan dalil aqly, kelompok pertama
dalil naqli. Umar pernah melarang hajji tamattu', padahal
al-Qur'an dan al-Sunnah sangat tegas menetapkannya. Ketika
Utsman juga melarangnya, Ali secara demonstratif melakukannya
di depan Utsman. Kata Utsman: Aku melarang manusia melakukan
tamattu, dan engkau sendiri melakukannya. Ali menjawab: Aku
tak akan meninggalkan sunnah Rasulullah saw. hanya karena
pendapat seseorang. [9] Setelah perdebatan ini, menurut
riwayat lain dari Abdullah bin Zubair, Utsman berkata:
Sesungguhnya laranganku itu hanya ra'yuku saja. Siapa yang mau
boleh menjalankannya; siapa yang tak mau boleh
meninggalkannya. [10]

Contoh lainnya adalah hukuman dera bagi peminum khamr.
Rasulullah saw. menderanya 40 kali. [11] Umar --atas saran Abd
al-Rahman bin Auf menderanya 80 kali. Ali kembali menderanya
40 kali. Rasulullah saw. menetapkan thalaq tiga dalam satu
majlis itu dihitung satu. [12] Begitu pula Ali. Umar
menetapkan thalaq tiga itu jatuh tiga sekaligus. Umar
memutuskan hukuman rajam bagi orang gila yang berzina. Ali
membebaskan hukum itu berdasarkan hadits. [13]

Bila contoh-contoh tadi berkenaan dengan perbedaan antara
ketetapan nash dengan ra'yu, contoh-contoh berikut menunjukkan
perbedaan memahami nash. Kata quru dalam wal muthalaqatu
yatarabbashna bi anfusihim tsalatsatu quru' diartikan
berbeda-beda. Abdullah bin Mas'ud dan Umar mengartikan "quru"
itu haidh. Zaid ibn Tsabit mengartikannya masa bersuci di
antara haidh dengan haidh lagi. [14] Ibn Umar menafsirkan
"al-muhshanat dalam ayat wa al muhshanat min alladzina utu
al-kitab sebagai wanita Muslim, karena itu Ibn Umar
mengharamkan wanita ahli kitab dinikahi laki-laki Muslim. Ibn
'Abbas menganggap ayat itu sebagai pengecualian (takhshish)
dari ayat wa la tankihu al-musyrikat hatta yu'minna. Utsman
tampaknya sependapat dengan Ibn 'Abbas, karena ia menikah
dengan Nailah, wanita Nashrani, dan Thalhah menikahi wanita
Yahudi dari Syam. [15]

Kadang-kadang ikhtilaf terjadi di antara para sahabat karena
perbedaan pengetahuan yang mereka miiiki. Sebagian sahabat,
misalnya, mengetahui nash tertentu, sebagian lain tidak
mengetahuinya. Umar pernah menegur orang yang dikiranya salah
ketika membaca QS al-Fath: 26. Ia memarahi orang itu. Tetapi
Umar kemudian dikoreksi Ubayy bin Ka'ab. Kata Ubayy Anda tahu
saya berada di dalam beserta Rasulullah saw. ketika ia membaca
ayat itu. Engkau sendiri berada di pintu... Demi Allah Ya
Umar, sesungguhnya Anda tahu, ketika saya hadir Anda tidak
ada; ketika saya diundang, Anda tidak. [16]

Al-Syaikh Muhammad Muhammad al-Madany menjelaskan salah satu
sebab ikhtilaf yang berkenaan dengan sunnah: [17]

Sahabat Rasulullah saw., yang mengambil sunnah dari
Nabi dan meriwayatkannya, berbeda-beda dalam kemampuan
pengambilannya dan dalam menerima riwayatnya.
Rasulullah saw. ditanya tentang suatu masalah. Ia
menghukum dengan hukum tertentu memerintahkan atau
melarang sesuatu, melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Yang hadir waktu itu dapat menyimpan peristiwa
itu, yang tidak hadir tentu tidak mengetahuinya. Ketika
Rasulullah saw. wafat, bertebaranlah sahabat di
negeri-negeri, dan setiap penduduk negeri mengambil
dari sahabat yang ada di negeri mereka. Berkata Ibn
Hazm: "Orang Madinah hadir pada tempat yang tidak
dihadiri orang Basrah, orang Basrah menghadiri tempat
yang tidak dihadiri orang Syam; orang Syam hadir di
tempat yang tidak dihadiri orang Basrah; orang Basrah
menghadiri yang tidak dihadiri orang Kufah; orang Kufah
hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Madinah. Ini
semua terjadi dalam hadits, dan pada saat kita
memerlukan informasi. Padahal --seperti telah kita
jelaskan--sebagian sahabat pada sebagian waktu tidak
hadir di majelis Rasulullah saw., sedangkan sebagian
lagi hadir. Setiap orang hanya mcngetahui apa yang ia
saksikan, dan tidak mengetahui apa yang tidak ia
hadiri. Ini jelas menurut akal. 'Amar dan yang lain
mengetahui tentang tayamum, Umar dan Ibn Mas'ud tidak
mengetahuinya, sehingga mereka berkata: Orang junub
tidak tayamum, walau pun tidak menemukan air selama dua
bulan. Ali Hudzaifah al-Yamani dan lain-lain mengetahui
hukum mengusap tetapi 'Aisyah, Ibn 'Umar, Abu Hurairah
tidak mengetahuinya walaupun mereka penduduk Madinah.
Anak perempuan dari anak beserta anak perempuan
mendapat waris diketahui Ibn Mas'ud tetapi tidak
diketahui Abu Musa.

Marilah kita berikan satu contoh lagi yang lebih ilustratif.
Ketika orang sedang berkumpul di hadapan Umar bin Khathab,
masuklah seorang laki-laki: "Ya Amir al-Mu'minin, ini Zaid bin
Tsabit berfatwa di masjid dengan ra'yunya berkenaan dengan
mandi janabah." Kata Umar: "Panggil dia!" Zaid pun datang dan
Umar berkata: "Hai musuh dirinya sendiri!, aku dengar kau
berfatwa pada manusia dengan ra'yumu sendiri? Kata Zaid: "Ya
Amir al-Mu'minin. Aku tidak melakukan itu. Tetapi aku
mendengar hadits dari paman-pamanku, lalu aku sampaikan -- dan
Abi Ayyub dari Ubbay bin Ka'ab," dari Rifa'ah bin Rafi'. Kata
Umar: "Panggil Rafa'ah bin Rafi'. Ia berkata: "Apakah kalian
berbuat demikian - bila kalian bercampur dengan isteri kalian
dan tidak keluar air mani kalian mandi?" Kata Rafa'ah: "Kami
melakukan begitu pada zaman Rasulullah saw. Tidak turun ayat
yang mengharamkan. Tidak juga ada larangan dari Rasulullah
saw." Kata Umar: "Apakah Rasulullah saw. mengetahuinya?" Kata
Rafa'ah: "Tidak tahu." Lalu Umar mengumpulkan Muhajirin dan
Anshar, lalu bermusyawarah. Semua orang berkata tidak perlu
mandi, kecuali Ali dan Mu'adz. Keduanya berkata: "Jika kedua
khitan bertemu, wajib mandi." Kata Umar: "Kalian
sahabat-sahabat yang ikut Badr sudah ikhtilaf, apalagi
orang-orang setelah kalian!" Kata Ali, Ya Amir al-Mu'minin:
"tidak ada orang yang lebih tahu dalam hal ini kecuali isteri
Rasulullah saw. Ia mengutus orang bertanya pada Hafshah.
Hafshah tidak tahu. 'Aisyah ditanya. Kata 'Aisyah: "Bila
khitan sudah bertemu khitan, wajib mandi." Kata Umar: "Bila
ada lagi orang berfatwa bahwa tidak wajib mandi kalau tidak
keluar, aku akan pukul dia." [18]

Dalam kasus yang baru kita ceritakan, ikhtilaf di antara para
sahabat dapat diselesaikan oleh khalifah. Khalifah bahkan
menetapkan sangsi bagi orang yang mempunyai pendapat berbeda.
Dalam kasus-kasus yang lain, ikhtilaf di antara para sahabat
itu dibiarkan dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Buat
orang-orang sektarian, ikhtilaf para sahabat ini menjadi
sumber perpecahan. Buat orang yang berjiwa terbuka, ikhtilaf
ini adalah assets bagi perkembangan pemikiran. 'Umar bin Abd
al-'Aziz, tokoh ukhuwah Islamiyah yang menghentikan kutukan
pada Ali di mimbar, berkata: "Aku tidak senang kalau sahabat
Nabi tidak ikhtilaf. Seandainya pendapat mereka itu tunggal,
sempitlah manusia dibuatnya. Mereka adalah teladan yang
diikuti. Jika kita mengambil dari siapa saja di antara mereka,
jadilah itu sunnah. Artinya, mereka membuka pintu ijtihad bagi
manusia. Mereka boleh ikhtilaf, karena bila mereka tidak
membukanya, para mujtahid berada dalam kesempitan. Allah
memberikan keluasan pada umat dengan adanya ikhtilaf furu'i di
antara mereka. Dengan begitu, ia membuka umat untuk memasuki
Rahmat-Nya." [19]

shalat sebagai sarana memerangi syetan

Shalat adalah sebuah amal saleh, dengan mengamalkannya manusia menjadi jauh dari kelemahan syaitani. Dan karena itulah ia diberi nama doa. Syaitan menghendaki agar manusia lemah atau malas dalam menunaikan shalat. Karena syaitan tahu bahwa melalui ibadah shalat inilah manusia akan banyak memperoleh kemajuan. Dan melalui ibadah shalat inilah merupakan syarat bagi manusia untuk menjadi suci bersih. Selama manusia masih bergelimang dengan benda-benda kotor didalam dirinya selama itu pulalah syaitan akan terus mencintainya.
Teruslah secara berkesinambungan dalam usaha untuk menanamkan kecintaan terhadap Tuhan didalam hati sanubari. Dan untuk itu tidak ada amalan lain yang lebih baik dari pada ibadah shalat. Sebab ibadah puasa dilakukan setahun sekali dan zakat hanya orang yang memenuhi syarat nisab yang boleh membayarnya. Sedangkan ibadah shalat setiap tingkatan manusia diharuskan menunaikannya lima kali sehari semalam. Oleh sebab itu janganlah sekali-kali mensia-siakan ibadah shalat itu. Tunaikanlah berulang kali dengan pemahaman bahwa aku sedang berdiri dihadapan Zat Yang Maha Gagah Perkasa, jika Dia menghendaki maka sekarang juga Dia akan mengabulkan permohonan do’a kita pada sa’at ini juga. Tuhan tidak seperti hakim duniawi yang memerlukan sebuah khazanah atau harta banyak dalam menjalankan tugasnya. Kadanga-kadang ia takut kalau-kalau khazanah menjadi kosong habis isinya. Dan ia takut dari kemiskinan. Sedangkan khazanah Allah swt selalunya tetap penuh isinya setiap waktu.

Apabila seorang mukmin berdiri dihadapan Tuhan, ia hanya memerlukan keyakinan yang kuat untuk memenuhi hajatnya bahwa ia yakin dengan sesungguhnya bahwa dia sedang berdiri dihadapan Tuhan Yang Sami’, Alim dan Khabiir serta Qadir, jika Dia menghendaki tentu Dia akan memberi segala sesuatu yang dia mohon dari pada-Nya pada waktu itu juga. Hendaknya ia berdo’a sambil merendahkan diri, jangan merasa putus asa dan jangan punya prasangka buruk bahwa Dia tidak akan mengabulkan do’anya. Jika ia tidak berlaku demikian dan merasa yakin kepada pertolongan-Nya maka ia akan segera menyaksikan keadaan yang menyenangkan dan karunia-Nya juga akan turun kepadanya. Dan dengan sendirinya ia akan mendapatkan Allah swt juga.

Itulah cara-cara yang harus dilakukan. Akan tetapi do’a orang-orang zalim dan fasiq tidak akan pernah dikabulkan, sebab mereka itu sentiasa mengabaikan hukum-hukum Allah swt. Dan Allah swt juga mengabaikan mereka. Jika seorang anak tidak menghiraukan orang-tuanya sendiri dan tidak takut kepada mereka tentu orang-tua juga tidak akan sungguh-sungguh menghiraukan-nya. Jika demikian maka mengapa Tuhan harus menghiraukan-nya?

Jadi senjata yang diperlukan untuk memerangi syaitan adalah shalat. Dan syaitan selalu siap untuk merampas pikiran orang mukmin supaya jangan melaksanakan shalat itu. Maka seperti halnya seorang tentera yang baik tidak pernah membiarkan apa yang terkandung didalam pikirannya akan terlintas didalam pikiran musuh. Seorang mukmin sejati juga tidak akan lengah dari macam pikiran seperti itu. Sudah menjadi fitrat insani, bahwa pikiran sering tertuju kearah perkara yang buruk secara berulang-ulang. Oleh sebab itu untuk menjaganya juga memerlukan satu amal atau usaha secara dawam. Dan cara untuk pengawalannya secara tetap, untuk meneruskan usaha secara berkesinambungan telah diberitahu oleh Allah swt, yaitu jagalah shalat baik-baik. Sebagaimana firman-Nya :

Peliharalah semua shalat dan khususnya shalat tengah-tengah, dan berdirilah dihadapan Allah dengan patuh! (QS.Al- Baqarah : 239).

Manusia Mempunyai Kembar Jin & Sehari Di MAHSYAR Menyamai 50 Ribu Tahun Di Dunia

Berikut adalah penerangan oleh Dr Haron Din mengenai makhluk halus menurut Al-Quran & Sunnah yang ada menyentuh mengenai kewujudan qarin dan yang berkaitan dengannya.
Qarin ialah perkataan Arab yang bermakna teman atau rakan. Istilah qarin di sini bermaksud roh-roh jahat dari kalangan makhluk-makhluk halus yang mengiringi kelahiran seseorang bayi.

Kewujudan qarin ini ialah untuk menggoda manusia, menampakkan hal-hal yang buruk, dan yang jahat-jahat seolah-olah baik pada pandangan mata manusia. Qarin sentiasa berusaha untuk menjerumuskan manusia dengan mengajak mereka melakukan kemungkaran dengan cara menggoda, merayu, memujuk dan menipu. Semua manusia mempunyal qarin sama ada ia nabi atau orang yang alim.

Dalam surah al-An'am ayat 112 Allah s.w.t. berfirman:

Dan demikianlah kami jadikan bagi setiap nabi itu musuh dari jenis manusia dan jin, sebahagian daripada mereka membisikkan kepada yang lain perkataan yang indah-indah untuk menipu.

Rasulullah s.a.w. pernah bersabda yang berbunyi:
Tidaklah salah seorang daripada kamu (yang lahir ke dunia) melainkan dia telah dipertemankan dengan scorang kawannya daripada jin dan seorang kawannya daripada kalangan malaikat. Sahabat bertanya: Adakah engkau juga wahai Rasulullah? Baginda menjawab: Dan saya pun. Akan tetapi Allah menolong saya daripada gangguannya, maka tidaklah ia mendorong saya, kecuali kepada kebaikan.


Di bawah ini diperturunkan lagi dua buah hadis untuk menguatkan keterangan tentang ada qarin yang menemani setiap manusia.

Telah berkata Ummul Mukminin As-Sayyidah Aishah binti As-Siddiq:

Bahawasanya Rasulullah s. a. w telah keluar dari sisinya pada satu malam, tiba-tiba berlakulah satu tiupan (syaitan) terhadapnya. Maka Rasulullah pun datang melihat perkara yang sedang saya lakukan. Baginda bertanya: Apakah yang terjadi Aishah? Maka saya menjawab: Apa halnya saya, tidak diberi daya sebagaimana yang dikurniakan kepada engkau? Jawab Rasulullah s.a. w.: Adakah syaitanmu telah datang. Maka saya menjawab: Wahai Rasulullah. Adakah syaitan bersamaku? Jawab baginda: Ya. Saya bertanya lagi: Adakah terjadi pada tiap manusia. Jawab baginda: Ya. Maka saya pun bertanya: Adakah juga berlaku atasmu wahai Rasulullah. Jawab Rasulullah: Ya tetapi Tuhanku memelihara akan daku hingga aku selamat daripada tipu dayanya.


Sesungguhnya tidak ada seorang daripada manusia (yang dilahirkan) melainkan diberikan Allah seorang jin sebagai kawan.

Di antara qarin dan manusia, perbezaannya ialah manusia adalah seumpama bahan tunggangan , manakala qarin (iblis dan syaitan) tadi adalah penunggangnya. Demikianlah, perbandingan yang diberi oleh Rasulullah s.a.w.

Inilah jawapan Allah s.w.t. ketika iblis bersumpah akan membinasakan manusia seperti yang tersebut dalam Surah al-Hijr ayat 42.

Sesungguhnya hamba-hambaku tidak ada kekuasaan bagimu atas mereka kecuali orang yang mengikut kamu iaitu orang orang yang sesat.

Lantaran gangguan-gangguan yang sedia menunggu itu maka Allah menyuruh supaya dibacakan azan (bang) di telinga kanan dan (qamat) di telinga kiri sebaik-baik seorang bayi itu dilahirkan yang salah satu tujuannya untuk mengelakkan daripada gangguan iblis dan syaitan.

Sebuah hadis lain, dari Husain bin Ali r.a. ia berkata bahawa Rasulullah s.a.w. ada bersabda:

Siapa yang melahirkan anak lalu bayi yang dilahirkan itu diazankan pada telinga kanan dan diqamatkan pada telinga kirinya, nescaya ummu sibyan (jin yang menganggu kanak-kanak) tidak akan menganggunya.

Sehubungan dengan gangguan-gangguan ini, Imam Bukhari dalam kitab Sahihnya meriwayatkan bahawa.Rasulullah s.a.w. ada bersabda yang berbunyi:

Apabila malam meliputi (atau apabila malam menyelubungi) maka cegahlah anak-anak kamu, kerana sesungguhnya syaitan-syaitan itu berkeliaran ketika itu. Maka apabila luputlah satu ketika daripada Isyak, maka berilah kebebasan kepada mereka, selak pintu kamu serta sebut nama Allah dan padamkan lampu serta sebut nama Allah, dan tudunglah bekas-bekas minuman kamu dan sebut nama Allah, dan tutuplah bekas-bekas makanan dan menyebut nama Allah biarpun bekas itu telah ditudungi atau direntangi sesuatu ke atasnya.

Jelasnya anak-anak perlu berada dalam rumah pada waktu maghrib. Jangan
biarkan mereka berada di luar rumah kerana pada masa itu segala jeris makhluk
halus sedang keluar dari tempat kediaman masing-masing untuk mencari rezeki sambil mengenakan mangsanya.

Sesungguhnya Allah mencipta malaikat dan jin juga manusia 10 bahagian.Kadar malaikat 9 bahagian, jin dan manusia satu bahagian. Allah ciptakan dari satu bahagian itu dipecahkan kepada 10 bahagian. 9 bahagian daripadanya adalah bilangan jin dan hanya satu bahagian sahaja bilangan manusia.

Maksudnya, di dunia ini terdiri 90% Malaikat, 9% Jin dan hanya 1% Manusia. Hebatnya kuasa Allah.

WaLLahua'lam..
shieldofislam.blogspot.com

Sehari Di MAHSYAR Menyamai 50 Ribu Tahun Di Dunia

Berapakah lamanya manusia berada di Mahsyar iaitu sebelum kita semua dimasukkan ke dalam syurga atau dicampak ke dalam neraka?Di akhirat tidak ada peredaran matahari lantaran matahari telah dilipat oleh Allah, tugasnya telah tamat.

Sebab itulah para sahabat bertanya kepada Rasulullah, berapakah lamanya manusia mesti berada di mahsyar?


Dalam hal ini, Abu Said Al-Khudri meriwayatkan hadis Rasulullah S.A.W. Katanya, Rasulullah S.A.W. telah membacakan firman Allah yang bermaksud:


“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan
sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.”
Surah Al-Ma’arij (70:4)


Para ulama’ membandingkan alam akhirat itu berdasarkan ayat Al-Quran tersebut. Sekiranya manusia berada selama sebulan (30 hari) di akhirat, bandingannya dengan tahun dunia ialah 1.5 bilion tahun.

“Alangkah lamanya,” kata para sahabat apabila mendengar baginda membacakan ayat tersebut. Kemudian Rasulullah bersabda lagi bagi menyahut keluhan para sahabat itu dengan sabdanya yang bermaksud:


“Demi jiwaku yang berada di dalam genggaman Tuhan, sesungguhnya Allah meringankan (tempoh masa di akhirat) bagi orang mukmin hanya sekadar lama masa bagi tempoh waktu melakukan solat fardhu.”

Singkatnya masa yang bakal ditempuh oleh orang mukmin sekadar satu solat fardhu. Lebih-lebih lagi bagi orang yang khusyuk dalam solat. Tetapi ada juga golongan yang resah-gelisah dalam mengerjakan solat walaupun hanya lebih kurang 5 minit lamanya. Sebab itu kita dapati ada orang Islam yang sanggup berlapar semasa bulan Ramadhan, tetapi paling susah untuk menunaikan solat.


Bagi golongan orang mukmin yang sebenar,tempoh masa yang bakal dilalui di padang Mahsyar selama 50 ribu tahun itu terasa amat singkat, seolah-olah seperti melakukan satu solat fardhu sahaja.


Setiap masa di padang Mahsyar ditentukan oleh Allah semata-mata Allah yang memanjangkan dan memendekkan masa. Dialah yang meringankan dan memberatkan suatu tanggungan.

menebar keangkuhan menuai kehinaan

Masih berkaca pada untaian nasihat Luqman Al-Hakim kepada anaknya. Menjelang akhir nasihatnya, Luqman melarang sang anak dari sikap takabur dan memerintahkannya untuk merendahkan diri (tawadhu’). Luqman berkata kepada anaknya:

وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتاَلٍ فَخُوْرٍ


“Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang angkuh dan menyombongkan diri.” (Luqman: 18)



Demikian Luqman melarang untuk memalingkan wajah dan bermuka masam kepada orang lain karena sombong dan merasa dirinya besar, melarang dari berjalan dengan angkuh, sombong terhadap nikmat yang ada pada dirinya dan melupakan Dzat yang memberikan nikmat, serta kagum terhadap diri sendiri. Karena Allah tidak menyukai setiap orang yang menyombongkan diri dengan keadaannya dan bersikap angkuh dengan ucapannya. (Taisirul Karimir Rahman hal. 649)

Pada ayat yang lain Allah k melarang pula:



وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ اْلأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِباَلَ طُوْلاً



“Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mencapai setinggi gunung.” (Al-Isra`: 37)

Demikianlah, seseorang dengan ketakaburannya tidak akan dapat mencapai semua itu. Bahkan ia akan menjadi seorang yang terhina di hadapan Allah k dan direndahkan di hadapan manusia, dibenci, dan dimurkai. Dia telah menjalani akhlak yang paling buruk dan paling rendah tanpa menggapai apa yang diinginkannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 458)

Kehinaan. Inilah yang akan dituai oleh orang yang sombong. Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia harapkan di dunia maupun di akhirat.

‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi n:



يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُوْنَ يَوْمَ الْقِياَمَةِ أَمْثاَلَ الذَّرِّ فِيْ صُوْرَةِ الرِّجاَلِ، يَغْشاَهُمُ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكاَنٍ، يُسَاقُوْنَ إِلَى سِجْنٍ مِنْ جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُوْلَسَ، تَغْلُوْهُمْ ناَرٌ مِنَ اْلأَنْياَرِ، وَيُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِيْنَةِ الْخَباَلِ



“Orang-orang yang sombong dikumpulkan pada hari kiamat seperti semut-semut kecil dalam bentuk manusia, diliputi oleh kehinaan dari segala arah, digiring ke penjara di Jahannam yang disebut Bulas, dilalap oleh api dan diberi minuman dari perasan penduduk neraka, thinatul khabal.1” (HR. At-Tirmidzi, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 434)

Bahkan seorang yang sombong terancam dengan kemurkaan Allah k. Demikian yang kita dapati dari Rasulullah n, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang shahabat mulia, ‘Abdullah bin ‘Umar c:



مَنْ تَعَظَّمَ فِي نَفْسِهِ أَوِ اخْتَالَ فِي مِشْيَتِهِ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ



“Barangsiapa yang merasa sombong akan dirinya atau angkuh dalam berjalan, dia akan bertemu dengan Allah k dalam keadaan Allah murka terhadapnya.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy- Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 427)

Kesombongan (kibr) bukanlah pada orang yang senang dengan keindahan. Akan tetapi, kesombongan adalah menentang agama Allah k dan merendahkan hamba-hamba Allah k. Demikian yang dijelaskan oleh Rasulullah n tatkala beliau ditanya oleh ‘Abdullah bin ‘Umar c, “Apakah sombong itu bila seseorang memiliki hullah2 yang dikenakannya?” Beliau n menjawab, “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki dua sandal yang bagus dengan tali sandalnya yang bagus?” “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki binatang tunggangan yang dikendarainya?” “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki teman-teman yang biasa duduk bersamanya?” “Tidak.” “Wahai Rasulullah, lalu apakah kesombongan itu?” Kemudian beliau n menjawab:



سَفَهُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ



“Meremehkan kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 426)

Tak sedikit pun Rasulullah n membuka peluang bagi seseorang untuk bersikap sombong. Bahkan beliau n senantiasa memerintahkan untuk tawadhu’. ‘Iyadh bin Himar z menyampaikan bahwa Rasulullah n bersabda:



إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ



“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak seorang pun menyombongkan diri atas yang lain dan tak seorang pun berbuat melampaui batas terhadap yang lainnya.” (HR. Muslim no. 2865)

Berlawanan dengan orang yang sombong, orang yang berhias dengan tawadhu’ akan menggapai kemuliaan dari sisi Allah k, sebagaimana yang disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda:



وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ



“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya.” (HR. Muslim no. 2588)

Tawadhu’ karena Allah k ada dua makna. Pertama, merendahkan diri terhadap agama Allah, sehingga tidak tinggi hati dan sombong terhadap agama ini maupun untuk menunaikan hukum- hukumnya. Kedua, merendahkan diri terhadap hamba-hamba Allah k karena Allah k, bukan karena takut terhadap mereka, ataupun mengharap sesuatu yang ada pada mereka, namun semata-mata hanya karena Allah k. Kedua makna ini benar.

Apabila seseorang merendahkan diri karena Allah k, maka Allah k akan mengangkatnya di dunia dan di akhirat. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang merendahkan diri akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya, dan akan dicintai oleh manusia. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/365)

Tak hanya sebatas perintah semata, kisah-kisah dalam kehidupan Rasulullah n banyak melukiskan ketawadhu’an beliau. Beliau n adalah seorang manusia yang paling mulia di hadapan Allah k. Meski demikian, beliau menolak panggilan yang berlebihan bagi beliau. Begitulah yang dikisahkan oleh Anas bin Malik z tatkala orang-orang berkata kepada Rasulullah n, “Wahai orang yang terbaik di antara kami, anak orang yang terbaik di antara kami! Wahai junjungan kami, anak junjungan kami!” Beliau n pun berkata:



يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، إِنِّي لاَ أُرِيْدُ أَنْ تَرْفَعُوْنِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِيهِ اللهُ تَعَالَى، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ



“Wahai manusia, hati-hatilah dengan ucapan kalian, jangan sampai kalian dijerumuskan oleh syaitan. Sesungguhnya aku tidak ingin kalian mengangkatku di atas kedudukan yang diberikan oleh Allah ta’ala bagiku. Aku ini Muhammad bin ‘Abdillah, hamba-Nya dan utusan-Nya.” (HR. An- Nasa`i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 786: hadits shahih menurut syarat Muslim)

Anas bin Malik z mengisahkan:



كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُوْرُ اْلأَنْصَارَ فَيُسَلِّمُ عَلَى صِبْيَانِهِمْ وَيَمْسَحُ بِرُؤُوْسِهِمْ وَيَدْعُو لَهُمْ



“Rasulullah n biasa mengunjungi orang-orang Anshar, lalu mengucapkan salam pada anak-anak mereka, mengusap kepala mereka dan mendoakannya.” (HR An. Nasa`i, dikatakan dalam Ash- Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 796: hadits hasan)

Ketawadhu’an Rasulullah n ini menjadi gambaran nyata yang diteladani oleh para shahabat. Anas bin Malik z pernah melewati anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam pada mereka. Beliau n mengatakan:



كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ



“Nabi n biasa melakukan hal itu.” (HR. Al-Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168)

Memberikan salam kepada anak-anak ini dilakukan oleh Nabi n dan diikuti pula oleh para shahabat beliau g. Hal ini merupakan sikap tawadhu’ dan akhlak yang baik, serta termasuk pendidikan dan pengajaran yang baik, serta bimbingan dan pengarahan kepada anak-anak, karena anak-anak apabila diberi salam, mereka akan terbiasa dengan hal ini dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka.(Syarh Riyadhish Shalihin, 1/366-367)

Pernah pula Abu Rifa’ah Tamim bin Usaid zmenuturkan sebuah peristiwa yang memberikan gambaran ketawadhu’an Nabi n serta kasih sayang dan kecintaan beliau terhadap kaum muslimin:



اِنْتَهَيْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَخْطُبُ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ، رَجُلٌ غَرِيْبٌ جَاءَ يَسْأَلُ عَنْ دِيْنِهِ لاَ يَدْرِي مَا دِيْنُهُ؟ فَأَقْبَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَرَكَ خُطْبَتَهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَيَّ فَأُتِيَ بِكُرْسِيٍّ، فَقَعَدَ عَلَيْهِ، وَجَعَلَ يُعَلِّمُنِي مِمَّا عَلَّمَهُ اللهُ، ثُمَّ أَتَى خُطْبَتَهُ فَأَتَمَّ آخِرَهَا



“Aku pernah datang kepada Rasulullah n ketika beliau berkhutbah. Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang yang asing datang padamu untuk bertanya tentang agamanya, dia tidak mengetahui tentang agamanya.’ Maka Rasulullah n pun mendatangiku, kemudian diambilkan sebuah kursi lalu beliau duduk di atasnya. Mulailah beliau mengajarkan padaku apa yang diajarkan oleh Allah. Kemudian beliau kembali melanjutkan khutbahnya hingga selesai.” (HR. Muslim no. 876)

Begitu banyak anjuran maupun kisah kehidupan Rasulullah n yang melukiskan ketawadhu’an beliau. Demikian pula dari para shahabat g. Tinggallah kembali pada diri ayah dan ibu. Jalan manakah kiranya yang hendak mereka pilihkan bagi buah hatinya? Mengajarkan kerendahan hati hingga mendapati kebahagiaan di dua negeri, ataukah menanamkan benih kesombongan hingga menuai kehinaan di dunia dan akhirat?

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

1 Thinatul khabal adalah keringat atau perasan dari penduduk neraka.

2 Hullah adalah pakaian yang terdiri dari dua potong baju.